Populisme islam selama beberapa tahun ini tengah hangat dibicarakan oleh publik mulai dari peristiwa 212,kemenangan Anis Baswedan di pemilu Jakarta hingga ramai diperbincangkan ketika pemilu 2014 hingga 2019. Lalu apa yang dimaksud dengan populisme islam?
Populisme islam dapat di definisikan sebagai suatu pergerakan atau kelompok yang kemudian mengikatkan diri berlandaskan unsur keagamaan serta mengklaim atau menjustifikasi sebagai representasi dari penganut agama islam atau dapat disebut dengan istilah Umat yang kemudian digunakan untuk memperoleh dukungan atau suara untuk melakukan mobilisasi guna menguasai sektor perekonomian maupun memperoleh kekuasaan atau juga dapat diartikan bahwa populisme islam merupakan perjuangan yang menempatkan umat islam sebagai golongan yang termarjinalkan dan tertindas dengan menghadapkan atau memposisikan umat berhadapan dengan golongan elite penguasa.
Berdasarkan history atau sejarahnya Populisme Islam sudah ada dari semenjak bangsa indonesia belum merdeka hal ini dibuktikan dengan hadirnya SDI atau sarekat dagang islam yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911 di kota Solo. Maksud di dirikannya SDI ini yaitu ingin mengembangkan dan mensejahterakan para pedagang Islam serta menghimpun kekuataan untuk melawan hagemoni pedagang Tionghoa yang telah menguasai pasar.
Hadiz (dalam Kansong,2021) mengklasifikasikan populisme islam di Indonesia menjadi 2 yakni populisme islam lama atau tradisional dan populisme islam baru. Jika pada masa sebelum reformasi populisme islam masih sangat berorientasi pada sektor perekonomian hal ini sangat berbeda ketika masa selepas reformasi dimana  populisme islam lebih mengarah ke upaya untuk memperoleh kekuasaan politik namun juga masih bersifat sama yakni dengan nuansa identitas keagamaan.
Berkembang dan mengeliatnya populisme islam ini bermula dari kemenangan-kemenangan dari populisme di belahan dunia lain seperti kemenangan donald trump di pilpres Amerika serikat dan kemenangan Bolsonaro di Brazilia selain itu juga populisme berkembangan di Eropa oleh kelompok-kelompok lokal yang merasa terancam dengan kehadiran kaum imigran. Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas umat islam.
Menurut Kementrian Dalam Negeri dalam DataBooks menyebutkan bahwa jumlah umat Islam sekitar 86,88% dari penduduk Indonesia atau sekitar 236,53 juta. Namun sampai sekarang belum pernah sekalipun memenangkan pemilu dari tahun 1955. Umat Islam merasa kepentingan mereka tidak direpresentasikan oleh elit politik yang mereka nilai serakah dan korup. Kemudian melahirkan semangat baru untuk melakukan pergerakan perlawanan untuk memperoleh kekuasaan politik guna mencapai kepentingan mereka.
Hal ini dapat kita lihat dari peristiwa kemenangan Anis Baswedan dalam pilkada tahun 2017 ketika melawan Basuki Tjahaja purnama atau akrab disebut Ahok. Dalam pilkada ini Anis memperoleh dukungan dari umat islam dalam pilkada tersebut dan menempatkan Ahok sebagai golongan elit ,kristen dan tionghoa. Selain itu juga disebabkan dari pernyataan Ahok ketika dipulau seribu yang dinilai menistakan agama.
Tak berselang lama MUI mengeluarkan fatwa yang pada intinya mewajibkan seorang muslim untuk memilih pemimpin dari kalangan islam. Dari fatwa ini kemudian menghadirkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF MUI. Dimana gerakan yang dilakukan oleh GNPF ini melakukan aksi-aksi bela islam yang dilakukan diarea monas yang berhasil menghadirkan jutaan umat di kawasan monas.
Disisi lain populisme islam juga ditampilkan dalam pilpres tahun 2019 ketika Prabowo berhadapan dengan Jokowi. Dalam pilpres ini Prabowo mendapat dukungan dari umat Islam dan mengklaim sebagai calon pilihan umat dan menempatkan Jokowi sebagai golongan elit yang menindas. Namun populisme ini gagal menghantarkan Prabowo untuk memenangkan pilpres karena Jokowi berhasil mengandeng wakil dari kalangan ulama yang berhasil memecah suara umat.
Selain di Indonesia populisme Islam juga hadir di negara lain misalnya Turki dan Mesir. Menurut Hadiz (dalam Budiarjo,2019) Ketiganya memiliki beberapa kesamaan, mayoritas penduduk Muslim, pengalaman kolonialisme, dan kemerdekaan nasional. Populisme islam di Turki berhasil menguasai civil society dan pemerintahan hal ini disebabkan dari adanya kaum pemodal atau borjuis muslim yang membersamai mereka untuk melakukan aktivitas sosial dengan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin kota dan hal ini menjadi faktor utama kemenangan partai Adelet Ve kalkynma atau AKP (Mudhoffir ddk, 2017:56).
Hal ini hampir serupa dengan populisme islam di mesir dimana mereka juga berhasil menguasai civil society melalui ikhwanul muslimin atau IM namun dalam hal pemerintahan selepas lengsernya Hosni mubarak IM menjadi kekuatan politik yang terkonsolidasi dengan menguasai negara untuk sementara waktu (Hadiz dalam Budiharjo, 2019) Kondisi tersebut berbeda dengan di Indonesia karena populisme islam di Indonesia cenderung mengalami kegagalan karena adanya fragmentasi dan tidak adanya kalangan pemodal atau borjuis muslim.