Kita masih berbicara tentang Yogyakarta. Kini saya ajak anda melintasi Jalan Imogiri Timur, masuk wilayah Bantul.
Cara mencari Jalan Imogiri Timur ini mudah. Kita masuk ke jalan Ring Road, terserah masuk dari arah mana, karena Ring Road itu bentuknya melingkar. Di bagian Ring Road selatan, kita akan menemukan Terminal Bus Giwangan, yang merupakan terminal bus induk di Yogyakarta. Jalan Imogiri Timur membentang lurus ke selatan, jika kita dari arah Terminal Giwangan. Ujung dari jalan ini adalah terminal Makam Raja-raja Yogyakarta.
Apa istimewanya jalan yang satu ini ? Di sepanjang jalan, dengan mudah kita menemukan warung-warung sate kambing berjajar di sebelah kanan dan kiri jalan. Sangat banyak, berdekat-dekatan lokasinya. Duapuluh empat jam, jika anda ingin mencari sate kambing, maka di sepanjang jalan ini selalu ada warung sate yang buka melayani pembeli.
Saking banyaknya penjual sate kambing di sepanjang ruas jalan Imogiri Timur, wajar seorang teman menyebut jalan ini sebagai “Pusat Sate Dunia”, karena duapuluh empat jam ada warung sate kambing, dan dengan sangat mudah mencari karena letaknya yang berdekatan antara satu warung dengan lainnya. Berjubel warung sate di sepanjang jalan ini.
Salah satu ciri warung sate kambing di wilayah ini adalah pada penampilan yang tampak sangat sederhana. Warung yang berdiri apa adanya, bahkan di beberapa tempat tampak tidak terlalu bersih. Kita tidak bisa menghitung lagi berapa warung sate telah kita lewati sejak dari terminal Giwangan, hingga pusat keramaian sate ini ada pada kilometer 12, yaitu di perempatan Jejeran, Wonokromo.
Sate Klatak, Sebuah Genre Khas
Masyarakat menyebut sate kambing di wilayah ini dengan sebutan Sate Klatak. Inilah uniknya, karena telah menjadi genre tersediri, berbeda dengan genre sate lainnya. Dulu “image” sate di Yogyakarta adalah Sate Samirono, yang menyediakan sate kambing dengan bumbu-bumbu yang sangat kuat dan lengkap. Beberapa kalangan menyebutnya dengan istilah sate bumbu. Namun sate klatak sangat berbeda konsepnya, tidak bisa dimasukkan kategori sate bumbu, karena minimalisnya bumbu yang digunakan untuk memasak.
Baik, kita teruskan dulu perjalanan di Jalan Imogiri Timur. Di wilayah Jejeran ini, pada salah satu pojoknya terdapat pasar tradisional, disebut Pasar Wonokromo. Dari pasar dan sekitarnya inilah –konon—sejarah Sate Klatak dimulai. Saat ini Pasar Wonokromo baru selesai direnovasi sehingga tampak baru dan bersih. Dulunya adalah pasar yang sangat tradisional dan sederhana, bahkan terkesan kumuh. Di dalam dan sekitar pasar ini, terdapat beberapa penjual sate klatak.
Kini sate klatak sudah berkembang, bukan hanya di dalam pasar, namun bahkan memenuhi sepanjang Jalan Imogiri Timur, sampai ke perempatan Jejeran. Dari perempatan ini, kita belok kiri akan bertemu beberapa warung sate klatak, kita belok kanan juga bertemu warung-warung sate klatak, arah lurus juga masih akan bertemu warung sate klatak. Inilah pusat sate dunia, selamat datang di Jejeran, Yogyakarta.
Sate Klatak dibakar dengan bumbu minimalis, dengan garam dan sedikit kemiri. Irisan dagingnya besar-besar dan dari kambing yang berusia muda. Dagingnya ditusuk dengan jeruji sepeda, bukan dengan bilah bambu, serta dibakar di atas “anglo” tanah, yang dipenuhi dengan bara dari arang kayu. Penggunaan jeruji ini membuat sate klatak matang sampai ke dalam. Rasa daging kambing muda, bumbu yang sederhana dan penggunaan arang kayu menghasilkan cita rasa sate klatak yang khas, yaitu asin dan gurih.
Setelah dibakar beberapa saat dan matang, sate klatak disajikan di atas piring, masih dengan tusukan besi jeruji sepeda. Satu porsi sate klatak berisi dua tusuk irisan daging yang cukup besar dan tebal. Meskipun irisan daging cukup besar dan tebal, tetapi rasanya tetap empuk, karena berasal dari kambing muda.
Dalam penyajian, sate klatak biasa ditemani nasi dan teh panas gula batu. Harga satu porsi sate klatak dan nasi berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 12.000 dan minumannya Rp 2.000.
Untuk bisa menikmati sate klatak, kita harus sabar menunggu, karena setiap malam warung sate klatak selalu dipadati pembeli. Terutama beberapa warung yang dianggap favorit. Apalagi pada malam minggu dan malam hari libur, pembeli lebih banyak, sehingga harus lebih sabar menunggu giliran.
Filosofi Sate Klatak
Dengan bumbu yang minimalis, kita akan mendapatkan rasa asli daging kambing. Kurang lebih mengajak kita menuju suasana “keaslian”, tidak bertopeng aneka bumbu dan penyedap. “Kami enak bukan karena bumbu, tapi memang daging kambing pilihan kami rasanya enak dan segar”, itulah filosofinya. Menikmati keaslian, begitu istilah lainnya.
Maka jika ingin menikmati rasa khasnya, jangan minta kecap atau bumbu lainnya. Rasakan sate klatak apa adanya, dengan nasi putih saja. Namun jika anda masih pemula, bolehlah anda menambah dengan sambal kecap atau kuah gulai. Kelak anda akan tahu, bahwa rasa mantap sate klatak tercipta dari keasliannya. Bukan dari asesoris dan bumbunya.
Apa Makna Klatak ?
Mengapa disebut sate klatak ? Saya sangat tergelitik untuk mengetahui istilah ini. Ternyata asal usul nama sate klatak ini tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Ada beberapa versi yang berkembang dari beberapa penjual sate di wilayah Jejeran. Sebagian mengatakan klatak adalah kiasan dari suara yang muncul ketika daging yang ditusuk besi jeruji dibakar di atas bara panas. “Klatak, klatak, klatak.....” kira-kira begitu bunyinya.
Sebagian berpendapat, klatak berasal dari suara besi jeruji sepeda yang jatuh ke papan untuk jualan. Besi jeruji yang digunakan untuk menusuk daging kambing itu ketika jatuh di atas papan untuk jualan berbunyi "klatak klatak klatak....".
Ada pula penjual yang mengaku keluarganya yang mengawali penamaan sate klatak. Saat dirinya masih kecil sering memunguti buah melinjo yang tidak ada kulitnya (klatak). Berawal dari itu, muncul inspirasi untuk berjualan sate, karena keluarga besarnya hobi memasak sate, hingga menciptakan resep tersendiri yang khas, dan diberi nama dengan sate klatak.
Tidak ada yang tahu pasti kapan nama sate klatak mulai dipakai, karena para leluhur mereka telah berjualan sate itu cukup lama, bahkan sejak sebelum pasar tersebut dibangun. Seorang penjual sate mengatakan dalam satu malam menghabiskan 20 kilogram daging kambing yang terhidang menjadi 100 porsi sate.
Sate ini ternyata enak dimakan kapan saja. Siang hari enak, dinikmati bersama teh panas. Wah pasti langsung berikeringat selesai menyantapnya. Malam hari juga enak, dinikmati bersama teh panas gula batu. Ini juga membuat kita berkeringat menikmatinya.
Sudahlah, tidak usah banyak tulisan. Langsung saja nikmati rasa dan suasananya. Jangan langsung menuju warung sate pilihan anda, tapi perhatikan dengan seksama suasana Pusat Sate Dunia, yang hanya ada di Jalan Imogiri Timur, Yogyakarta. Tepatnya lagi di wilayah Jejeran, Wonokromo, Yogyakarta.
Gambar pinjam dari Google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H