Mohon tunggu...
Nur Setiono
Nur Setiono Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan swasta yang senang mengamati kehidupan sosial/kemasyarakatan. Sok merasa sibuk. Iseng suka tulas tulis kecil. Ngebanyol OK (tapi bukan pelawak). Serius gak ketinggalan (tapi bukan pakar). Berdomisili di pinggiran Jakarta Timur

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Paradoks : Penulis Humor Orang Paling Sabar dan Ajaib

25 Agustus 2015   01:18 Diperbarui: 25 Agustus 2015   01:30 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

      Beberapa saat setelah Kanal Humor raib dari permukaan Kompasiana tercinta, banyak yang mempertanyakannya, salahnya dimana?. Ada yang bilang sekarang jadi Tuna Wisma; ada yang meminta minta agar kanal tersebut dihidupkan kembali; ada yang mo bikin pojok sendiri [si Menor]; malah ada yang merasa enak Nomaden saja supaya bisa nemplok atau gelendotan kemana suka.. Dulu juga ada satu kanal yang kena bredel Admin, yakni Kanal Agama, salah satu alasannya karena buah tulisannya banyak mengundang perdebatan ngalor-ngidul, saling bully yang cukup memerahkan telinga dan cenderung berbau SARA. Nampaknya pada versi baru kompasiana ini bukan saja Kanal Humor yang hilang, tapi seperti Rubrik Pendidikan (Edukasi) dan lain lainpun pergi entah kemana.

Raba’an subjektif saya [moga moga salah], Kanal Humor digusur lantaran kurang cocok dengan harapan Kompasiana yang mestinya lebih mengedepankan tulisan yang bergendre serius, berbobot, kualitas nomor wahid, ilmiah popular dan sebangsanya sehingga bisa memberikan pencerahan sekaligus meningkatkan wawasan untuk khalayak pembacanya.

Kanal Humor yang tandem sebagai ‘anak asuh’ dari Rubrik Hiburan pada Kompasiana versi lama, sesungguhnya sudah tepat kendatipun hanyalah berupa aksesories semata, karena sadar sesadar-sadarnya bahwa ditengah tengah keseriusan beraktifitas perlu kehadiran berupa selingan hiburan guna mengendorkan urat syaraf yang menegang akibat kesibukan yang menumpuk hingga ubun ubun. Namun pada perjalanannya justru tulisan humor relative banyak ‘pengekliknya’, mengalahkan rubrik yang condong bernada ‘seriosa’ (baca : serius), bahkan pada kolom komentar penuh gegap gempita, dimana para komentator saling saut bahkan terkadang ‘off side’ akibat terlalu jauh keluar kontek + “perbulian” + ledek ledekan. Meskipun terdapat perbulian dalam adu komentar tetapi tidak pernah ada yang merasa sakit hati dan atau dendam. Yang terlihat malah ketawa ketiwi, karena memang dalam suasana guyonan semata.

 Ramainya pengunjung pada Kanal Humor yang rata rata postingan maupun komentar komentarnya cenderung ‘cengengesan’ atau kenthir itu, bisa jadi lantaran tidak sedikit Kompasianers yang menyukai humor sebagai obat penghilang rasa penat, ngantuk, stress, galau dan sejenisnya. Olah sebab artikel humor lebih bernada ‘cengengesan’ makanya ada yang menenggarainya sebagai tulisan ‘sampah’ yang sudah barang tentu layak untuk digusur dari Rumah Sehat Kompasiana.

Humor itu “tidak kemana, tapi ada dimana mana”. Tengok saja disetiap sudut kerumunan manusia, baik secara sengaja atau sepontanitas belaka selalu saja terlontar kalimat kalimat humor atau banyolan yang membuat ‘ger’ sehingga suasana menjadi cair. Betapa ngantuk dan membosankan ketika kita hadir dalam sebuah seminar, lokakarya, rapat, ceramah dan lain lain tanpa adanya bumbu penyedap barupa sisipan lelucon. Banyak ceritera fiksi, novel menyuguhkan ungkapan ungkapan yang mampu mengundang senyum atau tawa dalam hati, itu semua agar alur ceritera menjadi lebih hidup dan para pembaca tetap bertahan untuk meneruskan bacaanya sampai habis, tanpa diganngu rasa ngantuk, lelah dan atau bosan.

Ruh atau kuncinya tulisan atau gambar humor adalah membolak-balik logika kehidupan. Via tulisan atau gambar yang menjungkir balikkan logika –nalar- itulah timbul kelucuan, sehingga mengundang orang untuk tertawa, atau setidaknya ogah manyun.

Penulis humor adalah orang ‘nyeleneh’ yang pandai menyusun atau me-reka pilihan kata [diksi] sedemikian rupa sehingga terwujud ceritera lucu.

Saya yakin, para penulis atau pembuat gambar humor lebih senang jika hasil karyanya ditertawakan banyak orang, yang pada hakekatnya adalah merupakan manifestasi dari pujian. Paradoks bukan?, itulah ajaibnya para penulis humor, bersama karyanya.

“Dalam lelucon terdapat banyak obat, tapi didalam obat tidak banyak lelucon” [Josh Billing].

** bingung, mau di taruh pada rubrik apa postingan ini..... hehehehe..

Jakarta, 25 Agustus 2000 15;

- Nur Setiono -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun