"Pernyataan yang seolah olah bertentangan dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran" Â itu petikan yang aku kutip langsung dari Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, oleh Boediono M.A, sebagai maksud atau difinisi PARADOKS.
Aku lalu mencoba mencerna, apa sebetulnya isi kandungan kalimat tersebut diatas. Memang agak sulit, bagi aku yang memang bukan akhli sastra atau bahasa Indonesia + TOP (Tua Ompong Pikun), "telmi" & "lemot" ini. Namun contoh tulisan yang diulas dengan begitu apik oleh pak Bambang Pribadi dalam "Bahasa Menunjukkan bangsa #1" dengan sub judul "Bangsa yang Tak Suka Digurui (judul asli) aku jadi sedikit 'ngeh'. Â Oh... kira kira seperti itu tho. Atau mungkin juga aku masih salah tafsir. Namun setidaknya sudah tergurat esensinya.
--------0000--------
Begitu selesai mendengarkan lagu "Down To Earth" dari CD, yang didendangkan oleh Jutsin Bierber, penyanyi pria ABG yang suaranya mirip Micheal Jackson disaat usianya sama dengan dia. Â Lalu, swicth CD player aku pindahkan pada sisi radio, langsung tertuju pada gelombang sebuah radio swasta Jakarta, kira kira pukul 11.30 WIB, 19 Juli 2010. Â Sepenggal kalimat terdengar ketelinga "Keputusan menaikan harga TDL adalah demi kepentingan kita semua dan ini merupakan keputusan yang tidak mudah dan pahit bagi pemerintah. Sama dengan kebijakan mengurangi subsidi dst.. dst..dst..." itu antara lain (kalo tidak salah) pernyataan presiden SBY. Dalam acara apa? aku kurang menyimak.
Dari sisi pemerintah, yang memandang ekonomi dari sisi makro bisa jadi  keputusan semacam itu harus diambil karena dianggap tepat, guna menanggulangi permasalahan yang lebih besar, yang mungkin terjadi jika tidak dilakukan tindakan tersebut.
Publik tidak terlalu paham dengan alasan berupa problematika yang ditimbulkannya bilamana kebijakan pemerintah seperti itu tidak dikeluarkan. Dipikiran publik, boleh jadi hanya ada teka-teki, kok pemerintah setega itu pada rakyatnya dikala beban biaya hidup tak kunjung ringan.
Masyarakat secara umum, pandangannya jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan kibijakan pemerintah tersebut. Masyarakat mengukur dari kacamata mikro, dibenaknya, yang didasari atas realita dilapangan bahwa penyesuaian TDL tersebut akan secara otomatis atau serta-merta memicu kenaikan beberbagai kebutuhan hidup sehari hari. Apalagi saat ini  para orang tua masih dipusingkan dengan bagaimana mengatasi beban biaya masuk sekolah dan, lalu sebentar lagi memasuki puasa serta lebaran. Belum lagi ancaman ledakan gas yang sewaktu waktu tanpa diharapkan, mengintip dari ruang dapur.
Rencana operasi pasar dan kunjungan para pejabat tinggi negara ke berbagai pasar, ditenggarai oleh masyarakat hanya sebagai pemanis suasana saja. Sedangkan keadaan dilapangan tetap tidak beranjak. Perubahan kearah penurunan harga harga tidak menjadi kenyataan.
Sinyal sinyal akan adanya kenaikan TDL sudah santer muncul kepermukaan jauh hari  sebelum keputusan diambil. Seperti yang sudah sudah, protes dari sana sini tidak membuahkan hasil. Penyesuaian TDL tetap mulus berjalan sesuai rencana semula.
Lantas harus memakai cara apa masyarakat menyikapi menggilanya beban ekonomi ini. Banyak jalan keluar yang coba dicari.  Ada beberapa siasat yang logis yang pada umumnya sudah tahu  untuk diterapkan, namun bisa dikatakan sebagain hanya berupa utopia atau mustahil untuk berhasil pada tataran praktek. Mengingat kondisi ekonomi secara umum membuat kita susah bernafas.  Hal itu adalah; (1). Berhemat, kurangi belanja. Membeli hanya kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar tawar lagi. (2). Menaikan pengahasilan dengan cara menyambi usaha lain yang menghasilkan pendapatan         (3). Kedua hal diatas dijalankan secara bersamaan.
Ketiga siasat diatas memang mudah diucapkan, namun sulit diwujudkan, karena daya beli masyarakat memang sudah semakin merosot ditambah jiwa kewirausahaan pada umunya rendah.