Di mulut gang menuju ke rumahku, yang hanya muat untuk lewat sebuah mobil dan sepede motor. Setiap pagi senantiasa berkumpul penuh suka cita diiringi canda ria ibu-ibu muda dan para nenek baru. Masing masing mendorong kereta mini, cantik dengan model nyaris sama, didalamnya ada tumpangan bayi-bayi mungil yang nampak riang berhias senyuman, berbalut selimut warna-warni. Bersamaan dengan itu, kendaraan lalu-lalang cukup ramai. Maklum, daerah pemukiman padat, disamping memang pada jam-jam tersebut banyak orang yang sengaja meninggalkan rumah menuju ketempat beraktifitas mengais rejeki untuk biaya hidup. Aku  seringkali ikut larut pada kebahagiaan mereka.  Suatu ketika aku mencoba menyapanya.  "Pagi bu, mbak?...... aduh manisnya, cepat gede, pintar dan sehat ya nak?" kataku sambil mencubit lembut pipi salah satu bayi tersebut. "Ya.... om, nyari hawa dan berjemur matahari pagi biar sehat. Terima kasih" jawab mereka hampir serempak. "Hemmm..... mentarinya bagus buat kesehatan kulit, sayang udaranya terpolusi" ujarku lagi. "Oh,..... bagitu ya om. Habis bagaimana lagi. Disekitar sini tidak ada ruang yang baik dan luas" mereka menjelaskan. Aku hanya tersenyum, tanpa mampu meberikan solusi. Memang harus diakui, di kota-kota besar rata rata kondisinya seperti itu. Dibalik keceriaan mereka, sebenarnya terselip bahaya mengancam. Ya,..... mengancam masa depan dan kesehatan tunas tunas bangsa ini.  Betapa tidak !, polusi udara dari ujung knalpot kendaraan yang rata rata hanya setinggi kereta bayi tersebut, tidak bisa dielakkan langsung akan terhirup oleh hidung sang jabang bayi yang masih belum faham apa-apa itu. Seperti banyak diketahui, bahwa bahan bakar fosil untuk mejalankan berbagai mesin penggerak pada gilirannya akan menghasilkan pula limbah/polutant sebagai efek negatif dari mekanisme sistem "terciptanya" daya terhadap mesin tersebut, yaitu berupa gas yang bersifat racun. Konon racun dari situ bisa berakibat buruk terhadap sistem syaraf dan otak manusia.  Jangankan pada bayi yang masih sangat rentan, terhadap orang dewasapun akan berbahaya. Untuk itu, kenapa kita hirau. Kenapa kita abai pada lingkungan kita sendiri?.  Pertanyaan semacam itu yang sepatutnya kita kumandangkan terus menerus, agar kita sadar lalu mampu bangkit guna ikut berperan serta menjaga kesehatan lingkungan disekitar kita tinggal. Itulah pentingnya uji emisi dan merawat kendaraan secara baik dan benar. itulah perlunya kita menjaga kelestarian hutan, mambangun hutan kota agar polutant semacam diatas bisa tereliminasi secara alamiah melalui dedaunannya nan hijau menawan. Lalu kita harus bagaimana?.  Ya, walaupun kita hanya memiliki tanah atau rumah sepetak yang berada di gang sempit, akan terasa bijak jika kita, taruhlah hanya mampu menanam tanaman pot alakadarnya dipekarangan rumah, itu sudah merupakan kontribusi besar terhadap arti pentingnya lingkungan yang sehat dan aman, disamping itu pula berfungsi sebagai penghias rumah, membuat hati tentram dan pencuci mata melalui aneka daun serta bunga yang indah indah.  Hasil atau usaha yang besar atau sebaliknya, timbulnya masalah besar terkadang dimulai dengan hal hal sepele, remeh-temah dan kecil yang senantiasa kita abaikan. Sebenarnya, jika kita mau mengkaji atas fenomena alam. Segala solusi atas permasalahan yang ada di dunia ini bisa diperolah dari alam semesta sendiri. Yang aku sebut sebagai "Ilmu Alam". Itulah sebabnya tulisan ini diberi judul "Ilmu Alam : Suka Cita Sebuah Paradoksial", dimana kita sendiri yang ingin sehat, bugar, aman dan sejahtera namun kita sendiri yang menggiring untuk menciptakan suatu malapetaka atau bencana. *foto nyomot dari google chrome Jkt, 18 Juli 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H