Mohon tunggu...
Nur Setiono
Nur Setiono Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan swasta yang senang mengamati kehidupan sosial/kemasyarakatan. Sok merasa sibuk. Iseng suka tulas tulis kecil. Ngebanyol OK (tapi bukan pelawak). Serius gak ketinggalan (tapi bukan pakar). Berdomisili di pinggiran Jakarta Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BBM LPG: Konversi Sebuah Paradoksial? (3)

21 Juli 2010   19:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak ada salahnya kalau pengelola LPG belajar atau meniru, misalnya dari industri otomotif. Industri ini senantiasa menyertakan manual operasi dan perawatan untuk setiap produk kendaraan yang dipasarkannnya secara lengkap serta gamblang. Hebatnya lagi, mereka berani "merecall" (manarik) seluruh produknya yang sudah ada ditangan konsumen jika diketahui ada cacat "bawaan" yang bermutu rendah terhadap salah satu komponennya. Kemudian komponen dimaksud secara gratis diganti dengan yang baru.

Selayaknya antara gas, kompor, regulator dan selang merupakan suatu kesatuan yang utuh (built in), oleh karennya perlu  pengawasan yang benar benar intensif dan khusus. Bila memungkinkan, ada lembaga tersendiri  yang bersifat independen untuk mengawasinya. Seperti halnya sektor farmasi, makanan dan minuman.

Pemakaian LPG untuk keperluan masak memasak di rumah tangga, sebenarnya telah puluhan tahun berjalan. Bahkan dulu ada perusahaan gas (mungkin jenis lain) yang memasarkannya melalui distribusi pipa dalam tanah, lansung ke rumah rumah (persis PDAM) dan tidak pernah terdengar ada kecelakaan. Pembelian ragulator, selang atau peralatan lainnya diwaktu lalu selalu disertai SOP, cara mendeteksi dan apa yang seharusnya kita lakukan jika terjadi kebocoran gas.

Dalam masalah tersebut diatas, sebenarnya siapa yang paling bertanggung jawab?. Reaksi pengelola LPG sangat lamban, malah cenderung mencari dalih dengan menuding peralatan berupa benda mati sebagai biang keladi malapetaka. Wakil Rakyar setali tiga uang, terkesan bingung mau berbuat apa. Memanggil para fihak yang dianggap bertanggung jawab belum kesampaian. Pemerintah nampaknya masih sibuk mengurusi hal hal lain.

Apakah masyarakat dibiarkan begitu saja untuk memecahkannya sendiri persoalan ini? Entahlah. Tapi yang jelas, beberapa waktu belakangan ini mulai terlihat sejumlah tokoh warga berinisiatif mensosialisasikan penggunaan LPG secara benar, baik, aman, selamat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak tanah  kepada publik, setidaknya dilingkungannya masing masing.

TIP  :

Janganlah menyalakan kompor, pemetik api dan atau lampu maupun peralatan listrik lainnya, karena disitu ada percikan api, ketika kita mencium bau aneh/gas dari dapur atau rumah. Lepaskan regulataor dari tabung, buka seluruh pintu dan jendela selebar lebarnya, biarkan gas keluar ruangan dengan sedirinya atau kita usir dengan kibaskan kain sampai tidak berbau lagi. Periksa seluruh peralatan secara periodik. Bilamana sudah kurang berfungsi dengan baik, selang mulai retak retak atau telah cukup lama dipakai, segera ganti baru.  Cek tabung LPG, serta jangan membiarkan regulator terpasang, disaat rumah kita kosong untuk jangka waktu cukup lama.

Demikian. Terima kasih.-

Jakarta, 22 Juli 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun