Mohon tunggu...
paulus setiohutomo
paulus setiohutomo Mohon Tunggu... -

lulusan STF Driyarkara, pernah jadi jurnalis di EDITOR, Berita Buana dan sampai sekarang jurnalis freelance dan menulis untuk pihak2 yang meminta jasa penulisan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Macet Akibat Sterilisasi Jalur Busway?

14 November 2013   17:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Minggu ini kita diramaikan dengan persoalan klasik yaitu macet di Jakarta. Terlebih lagi, Pemda DKI berusaha keras untuk melakukan penertiban dengan mensterilkan jalur Trans Jakarta/busway. Apa reaksi masyarakat dan pengamatan media massa cetak dan elektronik. Jawabannya jelas lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya  macet semakin parah. Segala wacana ,debat di media cetak dan elektronik hampir satu minggu ini diwacanakan tapi tetap saja tak ada jalan keluar dan jawabannya satu yaitu  macet.

Saya pribadi menilai reaksi atas kebijakan dan aturan yang sebenarnya tujuannya baik sebenarnya sudah salah kaprah dan tidak logis. Karena meski tak ada jalur busway pun Jakarta de facto macet karena memang  tidak sebandingnya jumlah mobil dan panjang jalan.  Sudah pasti panjang jalan yang minim pun jika diambil satu jalur lagi oleh transportasi umum yaitu Trans Jakarta ya berakibat lebih  macet lagi. Konsekuensi logis ini sebetulnya tidak perlu diulang-ulang lagi, dan orang-orang yang berakal sehat pun paham.  Tapi yang terjadi sebaliknya dan diberitakan berulang-ulang seperti mantra bahwa macet disebabkan oleh sterilisasi jalur Trans Jakarta.

Permasalahannya  adalah bagaimana sebenarnya mayoritas masyarakat kita mau diatur, taat peraturan untuk kepentingan bersama yaitu mengatasi macet. Pasca era reformasi  ini memang ada kecenderungan sebagian  warga kita termasuk saya untuk  unjuk gigi , mau pamer eksistensi diri. Ini lho gagasan saya dan pemikiran saya paling hebat, yang lain tidak berguna dan bermanfaat. Akibatnya semua orang akhirnya merasa dirinya dan pikirannya yang paling benar. Saya jadi ingat  pertanyaan klasik yang filosofis: Apa sih itu kebenaran?

Saya mengilustrasikan orang di era reformasi ini kadang-kadang menjadi aneh dan malah menyulitkan dirinya dan orang lain . Contoh sederhana, di  jalan sebuah kampung rusak ,berlubang. Masyarakat kampung usul ke pemerintah setempat untuk dibetulkan. Akhirnya jalan dicor dan mulus. Tapi apa yang terjadi jalan kampung yang sudah mulus sepanjang 1 km itu malah dibuat polisi tidur dengan jarak hampir 100 meter atas inisiatif dari sebagian warga kampung itu sendiri.  Saya sendiri pernah menghitung ada jalan di perumahan yang mulus sepanjang 1 km dihiasi hampir 10 "polisi tidur". Bayangkan tak sampai setiap 100 meter kita lagi -lagi melewati polisi tidur.Lalu apa enaknya jalan lewat situ.  Padahal kita tahu tujuan jalan mulus adalah memperlancar, sedangkan tujuan polisi tidur dibuat untuk mengatasi kecepatan kendaraan agar tidak ngebut di jalan itu. Kesimpulannya kita terkadang sepakat untuk tujuan yang baik bersama, tapi begitu sudah tercapai malah dinodai dengan sikap mau menang sendiri dan pragmatis.

Jadi kalau tujuan kita bersama tidak mau bermacet ria, ya memang harus mencari jalan keluar yang menguntungkan bersama sekaligus berani berkorban untuk kepentingan bersama. Jika kita tidak memulai dari sendiri dengan tidak lewat jalur trans jakarta, atau tidak mau pakai mobil pribadi jika bermuatan hanya sendiri 1 atau 2 orang saja. Rela dan mau naik transportasi umum atau dengan siasat naik commuter line menitipkan motor atau mobil kita di stasiun. Anda mungkin  protes  ah  keretanya , atau Bus  Trans Jakarta belum on time dan tidak nyaman  ya kita tunggu saja, kan dengan birokrasi kita. Kalau semuanya tidak mau mengalah ya akibatnya  tetap macet dan macet dan prediksi Jakarta akan  macet total di tahun 2014 bukan mimpi di siang bolong.

Saya bukanlah orang setiap hari rutin naik transportasi umum. Kadang saya naik motor,terkadang naik mobil tergantung kepentingannya. Namun saya saat menilai ini kalau sendirian naik mobil memang sudah tidak efisien , boros dan mahal. Paling praktis ya naik mobil atau motor  dan dititipkan . Moda transportasi commuter line kadang saya tumpangi juga Trans Jakarta. Semua ada plus minusnya, sekarang tinggal kita pribadi yang memilih apakah kita mau berkorban dan mengurangi kemacetan atau tidak.

Jika sebagian masyarakat kita mau dan sadar untuk kepentingan bersama dan tak mau menang sendiri, saya yakin transportasi umum yang sedang disiapkan dapat mengatasi kemacetan yang jadi momok bersama.Intinya kita mau mengalah dan tidak membawa masalah ini ke ranah politik, karena akibatnya tambah runyam dan tak ada jalan keluar akhirnya ya tetap macet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun