Akhir-akhir ini berita kejahatan begitu marak, dan levelnya tidak main-main. Mayoritas bukan pembunuhan biasa, masuk kategori sadis. Mutilasi, pembakaran korban hingga dicor semen membuat bergidik bulu roma. Manusia, menjadi persis yang digambarkan oleh Filsuf Yunani kuno, Plausius dalam Asinaria Homo Homini Lupus. "Manusia adalah serigala bagi sesamanya". Banyak kaum humanis sama sekali tak rela dengan jargon ini. Manusia adalah mahluk tertinggi, adiluhung yang tak pantas disejajarkan dengan hewan apalagi sejenis serigala.Â
Manusia dibekali otak, pikiran, etika tertinggi sejak lahir. Ia digambarkan sebagai "Tabula Rasa" yang siap dididik dengan sopan santun, etika, bahkan seperangkat tatakrama dan protokoler bagi kalangan Bangsawan (Kerajaan Inggris, Kekaisaran Jepang) yang rumit dan kompleks. Di dunia umum, terdapat seperangkat pendidikan kepribadian juga untuk kalangan diplomat, calon pejabat, lulusan akademi militer hingga para direktur dan manajer.Â
Bagaimana cara berjalan, menyapa, makan dan minum (untuk gala dinner kerajaan dan kenegaraan), berkomunikasi semua diatur secara detail dan rapi. Semuanya menunjukkan begitu posisi manusia didewakan karena ketinggian akal budinya. Namun begitu melihat berita-berita kejahatan tadi, kita jadi dihadapkan pada satu pertanyaan besar : Benarkah manusia masih mempunyai rasa kemanusiaannya? Jika iya, mengapa perilakunya melebihi binatang? Jangan-jangan, Homo Homini Lupus memang benar adanya, terutama di zaman modern sekarang ini...
 Etika dan norma, dalam sosiologi masuk kedalam kategori besar yaitu Pranata Sosial. Menurut Prof Koentjaraningrat, Guru Besar antropologi UI bahwa pranata sosial adalah seperangkat lembaga dalam masyarakat yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Pranata itu mencakup sistem pendidikan (sekolah), Pranata hukum (Kepolisian, Pengadilan, Jaksa), Pranata agama (Pondok pesantren, biara, lembaga perkawinan), Pranata ekonomi (Pasar, Bank) dan berbagai macam pranata lain.Â
Diharapkan, seluruh warga masyarakat mematuhi dan mengikuti pranata ini, agar selamat dan teratur dalam hidupnya. Bagi beberapa kelompok yang disebutkan diatas, yang pada akhirnya melakukan berbagai tindak kejahatan atau kriminalitas dianggap melakukan hal yang menyimpang. Tidak sesuai norma atau nilai yang berlaku dalam masyarakat. Adapun tingkat pelanggaran yang dilakukan, mulai dari yang ringan seperti buang sampah sembarangan, melanggar aturan lalu lintas sampai yang terberat seperti melenyapkan nyawa orang lain hingga melakukan pembunuhan sadis dan berencana, akan mendapatkan sanksi.Â
Baik sanksi yang paling ringan seperti sanksi sosial (digunjing tetangga, dicibir) hingga sanksi hukum (mulai dalam hitungan bulan hingga yang terberat hukuman mati). Bagi kita umat beragama, akan terdapat juga sanksi agama kelak di akhirat bagi orang yang melanggar.Â
Di beberapa daerah pedalaman Indonesia, juga terdapat sanksi ekonomi yang terkait hukum adat berupa denda barang-barang bagi para pelanggar norma (pemerkosa didenda barang tertentu seperti babi atau sapi, membunuh didenda barang tertentu). Kesemuanya diberlakukan, agar memberi efek jera dan takut bagi pelanggar. Mereka akan berpikir seribu kali sebelum melakukan suatu pelanggaran atau tindak kejahatan. Namun demikian, mengapa kejahatan sadis tetap saja terdengar, bahkan semakin marak  akhir-akhir ini?Â
Disini kita jadi berfikir, hal apa yang membuat manusia hidup teratur, merasa berharga dan tidak depresi serta dendam dalam hidupnya? hal ini penting untuk diketahui dan digali, karena dalam mayoritas investigasi kepolisian, didapati para pelaku adalah orang yang penuh dendam, sensitif, tidak bisa mengendalikan diri, meledak-ledak dan emosional, hingga mengalami gangguan kejiwaan (oleh karenanya para pelaku pembunuhan sadis selalu dites kejiwaannya, apakah mereka melakukan semuanya secara sadar ataukah dalam pengaruh gangguan).Â
Disini apabila kita renungi kembali, bahwa norma-norma sosial, etika, sopan santun, pengendalian diri adalah senjata utamanya. Merasa menjadi bagian masyarakat, dicintai, diharapkan itu adalah kuncinya. Disini kita juga menjadi teringat bahwa psikolog AS Abraham Maslow, telah mengkategorikan piramida kebutuhan manusia. Bahwa setelah kebutuhan fisik terpenuhi (sandang, pangan, papan) manusia juga perlu mencapai kebutuhan yang lebih tinggi seperti kebutuhan afeksi dan sosial (dicintai, dihargai dan dibutuhkan).Â
Disinilah titik temu nurani manusia dan norma. Orang merasa "malu" melakukan sesuatu yang melanggar norma. Betapapun barang-barang di supermarket sangat menggiurkan untuk diambil tanpa sepengetahuan kasir, namun tulisan "segala betuk kejahatan akan dilaporkan kepada pihak berwajib, bla bla..." sudah lebih dari cukup bagi mereka untuk menahan keinginan. Apalagi di masa sekarang disetiap sudut, tertanam CCTV yang setiap saat mengawasi gerak mereka.Â
Dari dalam diri, mereka juga tak sudi mempertaruhkan karir, nama baik diri dan keluarga, reputasi dalam masyarakat hanya karena sepotong roti yang masuk dalam saku baju tanpa melewati meja Kasir.Â