Kantor PerkebunanÂ
    Angin luruh bertiup sepoi -- sepoi, mendukung penuh goyangan daun sukun diseberang halaman kantor perkebunan. Tupai -- tupai di dahan enggan keluar, mereka masih asyik bercengkrama. Mereka masih asyik memperhatikan dua orang di beranda yang sepertinya sedang sengit berdebat.
    "Pokoknya aku tidak setuju Paman! Tidak setuju!" teriak seseorang yang terlihat lebih muda, mukanya merah padam menandakan ketidaksukaan.
    "Tidak bisa begitu, Wo! Kedepannya pelatihan ini akan sangat bermanfaat bagi perkebunan kita!!"
    "Bermanfaat bagaimana!? Para buruh akan berkurang jam kerjanya, mereka akan banyak terlibat disektor wisata yang belum jelas juntrungannya itu! Sementara volume produksi akan menurun! Belum lagi menyiapkan sarana dan prasarana wisata, duit darimana? Darimana coba?!" bola mata Birowo seolah -- olah keluar dari tempatnya, kemarahannya sudah sampai puncak.
    "Apalagi ini melibatkan Kacong anak kampung itu! Muak aku paman, benar -- benar muak! Paman... hentikan proyek ekowisata ini... atau aku akan bertindak nekat!" Birowo sudah benar -- benar marah, dan tanpa berpamitan ia melesat keluar.
    "Wo! Birowo! Tunggu...!" tapi teriakan itu dianggap angin lalu. Tinggallah Pak Djati terduduk lemas di kursi. Angannya mengembara kejadian satu bulan berselang dalam rapat direksi dan staf perkebunan.
    "Selamat pagi semuanya, terimakasih telah sudi datang di rapat terbatas ini. Langsung saja, perkebunan telah mendapat e-mail dari kantor ILO pusat di Geneva, Swiss. He...he... kecanggihan teknologi ya, tidak perlu kaget. Karena website kita yang sudah cukup memadai, jadi bisa diakses langsung. Isi dari e-mail itu adalah rencana ILO mengadakan pelatihan ekowisata, sekaligus menyiapkan perkebunan ini menjadi wisata edukasi. Darimana semua ini bermula, disebutkan dasana bahwa kegiatan in dijembatani oleh Pak Kacong, salah satu putra Banyuwangi asli yang kini sukses berkarir dibidang pariwisata, bahkan asli sini. Dulu ayahnya adalah mandor disini!" ujar Pak Djati mewakili direktur utama. Mendengar uraian tersebut, sontak wajah para undangan rapat menjadi tegang. Untuk program ILO mungkin masih bisa mereka fikirkan lebih lanjut. Namun Kacong? Kacong yang dulu anak buruh perkebunan? Bagaimana dia bisa jadi fasilitator?
    "Maaf pak... apakah yang Bapak maksud adalah Kacong anak mandor yang bikin ulah dulu?" Birowo langsung berdiri.
    "Mm... betul." Pak Djati mengerling ke arah Daniar Legio. Perasaanya tidak enak.
    "O hoo... tidak -- tidak... Bagaimana bisa! Aku tidak mau! Aku tidak setuju!" Birowo semakin beringas menjadi -- jadi.