Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh kasus penipuan belanja online oleh dua orang perempuan kembar. Di dunia online, sebenarnya ini bukan hal baru. Sepatu kebesaran tidak sesuai contoh, warna yang lebih "pucat" dari gambar yang dikirim satu dua pernah berseliweran mengisi ruang pembicaraan antara kita dalam tahun-tahun terakhir. Semua dimaklumi dan "diikhlaskan", meski diiringi rutukan dari sang pembeli. Nilai dari barang yang membuat mereka memakluminya. Namun kisah penipuan terakhir tidak dapat dilupakan begitu saja, karena nilainya tak tanggung-tanggung : puluhan miliar rupiah! Apa yang terjadi dengan masyarakat kita, hingga dengan "enteng" melepas uang yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak akan pernah mereka miliki sekeras apapun mereka bekerja, bahkan seumur hidup mereka? Ada beberapa telaah terkait hal ini yang bisa diurai, yang  menggambarkan kondisi masyarakat kita sekarang ini.Â
Melihat nilai uang yang dikeluarkan, jelas telah terjadi kebangkitan ekonomi pada kelas menengah di Indonesia. Semakin banyaknya warga yang mengakses pendidikan tinggi, membuat lapisan masyarakat terpelajar di Indonesia semakin besar pula jumlahnya. Kalangan terpelajar ini adalah pilar utama kelas menengah yang  mengakses pekerjaan-pekerjaan termutakhir : Data Analyst, Content Creator,  hingga Account Officer ( dipekerjaan formal ikut perusahaan) dan lain-lain  yang sehari-harinya tidak bisa jauh dari akses internet. Teknologi Informasi yang semakin dibutuhkan, posisi-posisi pekerjaan yang dahulu tak terbayangkan di Platform-platform belanja online  dan lain-lain membuat pundi-pundi kekayaan mereka "meningkat" pesat. Banyak pula "artis" dadakan muncul dari media internet sabagai media alternatif seperti Youtube, Instagram maupun Tiktok yang meraup pundi-pundi rupiah dari kalimat sakti bernama "viral". Belum lagi para artis "mapan" yang telah malang melintang di layar kaca televisi, dimana pasti bagi mereka kata "Milyar" atau M adalah makanan sehari-hari, bukan sebuah nilai uang yang teramat sulit dijangkau. Dalam kasus ini juga terlihat para korban "mentransfer" uang dalam jumlah sangat banyak tanpa kekuatiran berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa level mereka sudah berada pada kelas menengah atas. Hal terkait peningkatan ekonomi  adalah sesuatu yang menggembirakan, dimana pemerataan ekonomi dan akses memperolehnya sudah semakin luas dan mudah.Â
Hanya saja, ada sebuah catatan penting (kalau tidak boleh dibilang negatif) tentang ekonomi ini. Indonesia masih berada di posisi sebagai negara target pemasaran saja. Artinya, Pasar Indonesia adalah "Surga" bagi segala produk dari luar. Konsumen Indonesia adalah "sasaran empuk" promosi produk asing, baik barang maupun jasa. Kita hingga hari ini masih belum beranjak di posisi pengguna akhir atau konsumen. Ya kita masih sebagai konsumen atau target (bahkan untuk menjadi produsen mungkin masih sangat jauh...maaf bukan pesimis). Buktinya sangat sederhana. Apa merk sepeda motor atau mobil yang saban hari berseliweran di sekitar kita? Produk Indonesia sendiri atau produk luar kah? Kita semua sudah paham jawabannya. Itu belum alat-alat elektronik, alat rumah tangga dan lain-lain termasuk Handphone. Selama 2 dasawarsa sejak booming HP mulai model kecil batangan ber-keypad hingga touchscreen (dulu dirajai oleh sebuah merk dari negara Skandinavia), sudahkan kita memiliki merk HP buatan sendiri?
 Di masa kejayaannya, sang produsen mengakui Indonesia adalah pangsa pasar yang paling "menggiurkan" (untuk beropini kurang pintar dianggap tidak sopan). Dengan sedikit ubahan tampilan warna, dan sedikit fitur baru, keluarlah seri selanjutnya. Ajaibnya, pada saat launching ribuan orang/bahkan puluhan ribu orang rela mengantre untuk mendapatkan yang pertama (tentu saja tawa produsen sangat lebar. Tawa yang ambigu antara senang bukan kepalang dan takjub alangkah mudahnya menggiring para pelanggan istimewa ini). Hal ini pula pasti yang terjadi pada kendaraan roda dua, roda empat, dan seluruh barang buatan asing dalam negeri. (Yang tebaru, tiket sebuah band dari luar negeri terjual ludes hanya dalam waktu beberapa jam, padahal tiket kelas termahal bisa mencapai mencapai 11 juta rupiah, sebuah nilai yang tidak kecil untuk kalangan masyarakat Indonesia. Rasional dan logiskah ini?) Pertanyaanya, apakah kita pernah menyadarinya? dan pernah berpikir untuk "berubah", dari sekedar pengguna atau "target" menjadi "pemain" atau yang menargetkan?Â
Kembali ke soal tindakan rasional dan irasional. Berbicara soal pembelian produk, baik barang maupun jasa dalam ekonomi terutama perilaku konsumen, disana ada sebuah elemen yang bernama "atribut". Sebuah produk yang dibeli atau digunakan, ia membawa gengsi tersendiri bagi si pemakai. Seseorang yang makan di warung pinggir jalan, tentu berbeda "segalanya" dengan makan di restoran mewah ala bintang lima. Mulai dari harga, atmosfer, pelayanan, kebersihan, fasilitas semua beda. Seseorang yang menenteng barang belanjaan dari pasar tradisional, tentu berbeda dengan setelah ia berbelanja di supermall mewah. Selain berbeda dari aspek yang disebutkan diatas (yang riil/ nyata), ada juga perbedaan dari soal asumsi atau sudut pandang. Jika si konsumen mulai terjebak pada asumsi orang mengenai dirinya dari apa yang dibeli dan dikenakan/aktualisasi dirinya, maka lambat laun tindakannya bisa menjadi irrasional (atau bahasa gampangnya "termakan merk"/iklan). Ia akan rela merogoh kocek jutaan hingga puluhan bahkan ratusan juta (bisa M) hanya untuk mengejar sebuah barang, dimana bila ia memakai banyak atribut akan diterimanya (beruang, mengikuti mode, sosialita). Ini pula yang terjadi pada pembelian barang-barang super mewah seperti HP yang harganya bisa mencapai miliaran tersebut. Apa esensi HP sebenarnya? Apa substansi orang memiliki HP? Apa bedanya dua benda misal jam dinding seharga dua ratus ribu dan puluhan juta hingga miliaran rupiah? Apa gunanya membeli pakaian seharga ratusan juta misalnya, sedangkan fungsinya kurang lebih sama dengan sepotong pakaian seharga 300 ribu?Â
Untuk pembeli rasional, tentu memperhatikan fungsi, kegunaan dan harga dalam membeli. Namun untuk yang terlanjur fanatik (dan kebetulan memiliki uang), segala pertimbangan rasional akan lenyap. Terisi dengan berbagai keinginan untuk membeli barang tersebut (tentu dengan imajinasi luar biasa tentang komentar orang lain saat barang itu dikenakannya). Harga bukan jadi masalah (seperti beberapa waktu lalu menukar bunga hias dengan satu unit mobil, atau membeli seekor ikan koi, burung hingga akik dengan   harga miliaran rupiah), yang penting keinginan terpenuhi. Disaat seperti ini kita jadi ingat teori ekonomi tentang kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan, adalah apapun yang benar-benar kita butuhkan baik sandang, pangan maupun papan. Namun keinginan, adalah sesuatu yang tidak kita butuhkan benar-benar, seringkali hanya karena "lapar mata". Keinginan manusia tak terbatas. Jika berbelanja sesuai kebutuhan (bahkan banyak yang membawa list barang-barang yang benar-benar dibutuhkan), maka kita akan selamat. Namun jika berbelanja sesuai keinginan, akan membuat kita kalap. Tak peduli berapapun harganya akan dibeli (Hingga diakhir tertunduk lesu karena barang yang dibeli tidak benar-benar penting dan sesuai kebutuhan. Menahan keinginan dan menjadi rasional itu penting. Bukan berarti tak mampu dan tak bisa. Pertanyaan terakhirnya, sudahkah kita rasional terkait masalah ini?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H