Di zaman serba modern ini, kita dapat melakukan banyak hal dengan mudah berkat teknologi canggih. Mau bepergian kemanapun mudah, segala alat transportasi tersedia. Akses jalan tol sambung menyambung tiada habis. Ingin berkomunikasi juga serba cepat dan instan, jaringan internet sangat memadai. Begitu pula aspek-aspek kehidupan yang lain seperti konsumsi, akomodasi. Semua telah tersedia. Kita ingin makan apapun, dengan cara apapun bisa. Persoalannya hanya tinggal segi keuangan memadai atau tidak. Hal ini sangat berbeda dibanding puluhan tahun lalu, saat dekade 50 an setelah Indonesia merdeka. Revolusi fisik membuat berbagai hal susah didapatkan, bahkan tidak ada di pasaran. Namun, berbanding terbalik dengan derap kehidupan yang semakin mudah dan maju. Ada satu hal yang dikorbankan, dan akhirnya lama-lama bisa terkalahkan yaitu kualitas lingkungan. Suka atau terpaksa, kualitas lingkungan kita menjadi semakin buruk. Industri dan pembangunan besar-besaran semakin mendegradasi kualitas lingkungan baik air, tanah, udara dan semua hal yang menjadi penyangga kehidupan kita.  Â
                Sejak dekade 90 an, concern tentang kualitas lingkungan ini telah digaungkan negara-negara di dunia. Ekonomi yang membaik, booming industri pasca perang dingin mendorong industrialisasi besar-besaran yang ujung-ujungnya membuat polusi semakin menjadi-jadi dan melahirkan mimpi buruk bagi kehidupan manusia : Perubahan Iklim dan Efek Rumah Kaca yang membuat lapisan Ozon di Amosfir menganga. Ozon merupakan pelindung bumi secara alamiah : menjaga suhu bumi tetap stabil dari sinar Ultra Violet yang membahayakan (Gelombang hawa panas yang melanda Asia beberapa waktu lalu sejatinya sangat mengkhawatirkan), menjaga kelangsungan kehidupan di bumi tetap berjalan.  Kegelisahan itu manjadi gerakan global yang diprakarsai oleh PBB, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brazil pada tahun 1992 yang ditandatangani oleh 154 negara. Sayang seribu sayang, negara-negara industri besar yang notabene menjadi penyumbang polusi terbesar dunia justru resisten menolak ambil bagian. Secara matematis, hal itu mudah dipahami. Dengan masuknya mereka ke perjanjian tersebut, otomatis mereduksi industri negerinya. Akan banyak pembatasan-pembatasan. Namun demikian, KTT tersebut telah berhasil melahirkan kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim atau UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Bukan pencapaian maksimal, namun minimal telah menjadi pijakan bagi gerakan kesadaran bersama bahwa Bumi adalah tempat tinggal bersama yang harus dijaga dan dilestarikan.Â
                Di tingkat lokal, Pemerintah Indonesia menghadapi persoalan lain yaitu semakin menipisnya volume hutan sebagai akibat pembalakan liar (Illegal Logging). Berhektar-hektar pohon di hutan dibabat habis  terutama di Kalimantan, yang dulunya disebut "Paru-paru Indonesia dan Dunia". Persoalan ini tidak mudah di selesaikan oleh Pemerintah dan pihak berwenang, karena begitu banyaknya pihak yang berkepentingan dan terlibat didalamnya. Pohon, dengan proses fotosintesa melalui hijau daunnya adalah benteng kehidupan manusia. Penyedia oksigen dan mereduksi cuaca yang begitu panas. Kita dengan mudah merasakan gerah saat berada di kawasan perkotaan yang penuh bangunan dan gedung, namun merasa begitu segar dan lega saat di pedesaan dan hutan. Dalam hal ini kepentingan kita semua sama, memperoleh oksigen yang baik dan udara yang sejuk segar. Oleh karena itu, keberadaan pohon-pohon adalah sebuah keniscayaan yang mendesak. Penghijauan atau Reboisasi perlu digalakkan dimana-mana. Disisi lain, kita beruntung memiliki BUMN semacam Perhutani. Yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. Kiprahnya cukup krusial, terutama dalam kasus pencurian kayu dan pemotongan pohon. Dengan demikian sedikit banyak alam masih terjaga dengan baik.   Â
               Di Pulau Jawa, terkait volume hutan atau pohon apabila dibandingkan dengan Pulau Kalimantan tentu sangat tajamlah perbedaannya. Jawa sebagai pusat segala kegiatan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan budaya tentu memiliki populasi yang jauh lebih banyak. Dalam hal ini kebutuhan akan lahan hunian, tempat usaha dan lain-lain tentu jauh lebih besar. Oleh karenanya, menemukan "hutan" di Pulau Jawa tentu saja saat ini telah sulit. Apalagi di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang atau Bandung. Yang ada hanyalah Taman-Taman Kota, Ruang Terbuka Hijau yang luasannya tidak seberapa. Namun demikian, akhir-akhir ini muncul semangat positif untuk terus menambah volume ruang publik yang hijau seperti itu. Sebagai contoh Kota Surabaya. Kota yang dulu dikenal kumuh, panas dan polusi ini berubah wajahnya 180 derajat. Siapapun yang lama tak berkunjung ke Kota Pahlawan pasti akan merasa betah, karena kini banyak taman dan jalur hijau yang dibangun yang membuat adem kota. Kota tidak lagi gerah seperti sebelumnya.Â
              Di daerah, luasan area hijau masih lumayan. Kabupaten dan kota di Jawa Timur, masih memiliki banyak pepohonan dan persawahan (Meskipun kita tidak tahu dalam tahun-tahun mendatang apakah masih demikian karena terdesak oleh kebutuhan akan hunian dan lahan usaha). Ada satu hal yang cukup menarik dan menggembirakan, dan ini bisa menjadi sebuah pemikiran bersama yaitu masih cukup banyaknya keberadaan Mata Air (dalam bahasa Jawa disebut Sumber) di Kabupaten seperti Malang, Kediri, Kota Batu dan daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang masih masuk area pegunungan. Sama seperti lahan, mata air di zaman sekarang ini makin langka keberadaannya. Posisinya seperti "Emas". Kita harus tetap menjaga dan melestarikannya dengan cara apapun. Karena ancamannya tetap sama, alih fungsi lahan dan industrialisasi. Hari ini kita masih menemui Mata Air tersebut, namun boleh jadi beberapa tahun ke depan hanya tinggal nama. Berubah menjadi perumahan, gudang atau bahkan pabrik. Sekarang dengan sangat mudah manusia membuat lahan buatan. Tebing pun bisa disulap menjadi villa, jurang dapat berganti menjadi pemukiman. Apalagi hanya mata air? Penyuntikan ribuan ton semen (Grooting) akan segera mematikan mata air tersebut. Disini dibutuhkan perlindungan atau proteksi dari Pemerintah, dalam hal ini Balai Lingkungan Hidup untuk keberadaan mata air tersebut agar tetap lestari dan tidak beralih fungsi. Kesadaran bahwa air bersih dan udara adalah hal krusial bagi kehidupan manusia, mungkin akan mencegah manusia merusak alam. Dalam hal ini yang sering terjadi membuang sampah harian ke mata air, yang membuat mata air menjadi tersumbat, rusak dan mati. Mata air, adalah air dari dalam tanah yang muncul dengan sendirinya ke permukaan. Hal ini disebabkan besarnya volume air di bawah yang mendorongnya muncul ke permukaan. Mata air alami berwarna jernih, tidak berasa dan tidak berbau. Mata air semacam ini sangat menyehatkan manusia, dan tentu saja dapat dikonsumsi atau diminum. Keberadaan mata air tidak lepas dari adanya pohon-pohon besar yang tumbuh disekitar mata air. Akar-akar dari pohon besar ini menyimpan air hujan, atau air sungai bawah tanah yang akan dikeluarkan kembali sebagai mata air. Sehingga tidak heran di masa kemarau pun mata air alami ini tidak pernah kering. Keberadaan pohon-pohon besar dengan mata air dibawahnya ini sudah sangat langka, terutama di kota-kota besar. Oleh karenanya, kita wajib menjaga keberadaan mata air yang ada disekitar kita dengan tidak menebang dan merusak pohonnya. Siapa lagi kalau bukan kita yang melakukan. Karena anak cucu kita kelak juga membutuhkan bumi yang asri, alami dan memiliki daya dukung untuk menyangga kehidupan.Â
Ada satu cara lain yang cukup unik dan menjanjikan bagi pemeliharaan mata air ini, yaitu dengan cara menjadikannya sebagai obyek wisata. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur telah digunakan cara demikian, yang menguntungkan semua pihak. Masyarakat mendapat pemasukan dengan berjualan di sekitar mata air, juga parkir dan lain-lain. Lingkungan sudah pasti akan terjaga, karena masyarakat merasa berkepentingan menjaga sumber mata pencahariannya. Pola obyek wisata ini biasanya melibatkan semua pihak lokal seperti Karang Taruna, Pemerintah setempat bahkan Perusahaan melalui CSR-nya. Ada berbagai macam cara dan jalan untuk melestarikan lingkungan. Tinggal semangat dan kemauan kita. Semoga mata air yang ada di Indonesia tetap lestari, dan dapat dinikmati seterusnya hingga anak cucu kita nanti. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H