Mohon tunggu...
Setiawati Mayaharmonis
Setiawati Mayaharmonis Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh Agama Kristen - Pustakawan

Kebaikan Tuhan sangat besar bagiku, sekalipun aku menyerahkan seluruh hidupku itu tak pernah cukup untuk membalas kebaikan-Nya padaku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Curahan Isi Hati

1 Juli 2024   23:25 Diperbarui: 1 Juli 2024   23:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini aku harus menahan gejolak amarah di dalam dadaku, seperti hampir meledak. Aku berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Perkataannya malam ini telah membuat hatiku sakit dan secara sempurna membuat emosiku tersulut. Rasa marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadaku, namun aku harus berusaha tenang dan seperti kuat menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak menyukai keberadaanku.

Aku berusaha tersenyum, tapi getir. Aku berusaha bersikap biasa saja, tetapi aku gelisah. Terngiang apa yang dia katakan padaku dan sebuah tayangan drama dalam imajinasiku seolah menggambarkan situasi saat mereka sedang bergunjing tentang aku, dengan wajah sinis dan mata mendelik penuh dengan ketidaksukaan. Aku berusaha menghentikannya, tetapi apa daya imajinasiku semakin liar dan membuat bergidik punukku. Ah, mengapa mereka membicarakan aku di belakang. Apa salahnya jika mereka mengatakan dengan jujur dan mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka langsung padaku. Terlalu sulitkah untuk jujur dan tidak bersikap munafik?

Orang-orang yang kuhargai dan kuhormati ternyata bukan orang-orang yang gentleman yang bisa berkata jujur dan tidak berbicara di belakang. Kecewa, tapi inilah kenyataan, dunia yang aku pijak bukanlah dunia yang menerima orang lain yang berbeda. Mungkin aku terlalu berbeda dengan mereka, walaupun aku telah berusaha untuk beradaptasi dengan mereka. Tetap saja, aku berbeda.

Namun, dalam rasa kecewa ini hatiku terangkat kepada Tuhan. Aku terpesona akan sebuah kenyataan bahwa Tuhan yang aku sembah itu, selalu menerimaku apa adanya. Tidak pernah sekalipun Tuhan membicarakan aku di belakangku, dan tidak sekalipun Ia bersikap munafik kepadaku. Aku terpesona akan kebaikan Tuhan. Aku terharu dengan penerimaan Tuhan dalam hidupku. Aku tidak ada apa-apanya tetapi Ia berikan segala yang terbaik bagiku. Aku tidak mampu menerima diriku sendiri, tetapi Ia telah menerima aku apa adanya, bahkan saat aku lemah dan merasa sendiri, Ia memeluk aku.

Jika aku punya TUHAN yang begitu mengasihi aku, mengapa aku harus merasa kecewa dan sedih dengan sikap mereka? Aku harus menunjukkan bahwa aku berada di jalur TUHAN sehingga aku bisa berdiri tegak sampai hari ini. Aku harus lebih kuat... sekalipun mereka semua meninggalkan aku, aku tetap punya Tuhan yang akan selalu mengangkat aku ke tempat yang tinggi dan memakai aku sesuai dengan rencana-Nya.

Aku percaya TUHAN tidak akan membiarkan aku dipermalukan, tetapi Ia akan membuat aku semakin cemerlang seperti emas dan menjadi berkat di manapun aku ditempatkan. Terima kasih Tuhan. I Love You so much.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun