Perkenalkan saya Dilha seorang dosen di salah satu PTN di Sulteng yang sedang mengurus NIDN dan suami saya seorang Mualim  di Kapal Offshore.
Menjadi istri seorang yang kerja pelayaran tentu saja bukan hal mudah tetapi bukan juga hal yang tidak bisa dijalani. Hal yang paling utama harus dimiliki adalah kepercayaan. Karena dengan percaya hubungan bisa berjalan dengan baik. Apalagi setelah menikah, status suami adalah pengganti orang tua, beban orang tua kini berpindah, apapun itu kita harus percaya suami. Kalaupun ada suatu hal yang membuat hati kecil kita kesal atau mengganjal kita bisa konfirmasi langsung ke suami. Tanyakan kejelasannya dan kebenarannya. Kebetulan saya sendiri apapun yang orang lain katakan pastinya saya tanyakan kembali ke suami, bagaimanapun bentuk komunikasinya saya tetap harus dengar dari suami saya sendiri. Sebelum kami memutuskan untuk menikah suami menanyakanku beberapa hal termasuk apakah saya menerima dia dengan profesinya sebagai seorang pelaut. Saat saya ditanya tentang hal itu saya sedang perhatikan kepeduliannya setiap hari, tentu saja komunikasinya by phone. Karena saat kami dekatpun saya terlatih tentang jarak. Selain itu, tentu saja saya berdo’a mohon petunjuk. Dan akhirnya kamipun menikah karena sama-sama sudah yakin untuk menyandang status baru.
Baru 2 minggu menikah suamiku pun harus berlayar lagi karena sudah ditelfon dari kantor. Yah, kami dipisahkan oleh jarak lagi. Rasanya sedih, nyesek dan jujur saya seperti mencerna tentang jarak lagi karena kupikir masih banyak waktu untukku dan suami berbulan madu tapi ternyata waktu membuat kita untuk menahan rindu. Tidak henti-hentinya setiap hari saya meneteskan air mata karena rasanya masih ingin bersama, rasanya masih ingin  menikmati tetapi saya harus mengerti dan berbesar hati. Yang akhirnya saya bisa mengerti dengan keadaanku dan suamiku,  sekarang saya terlatih dan mulai terbiasa, yang bisa kulakukan saat menanti suami adalah berdo’a agar semua selalu dilindungi ALLAH SWT.
Sejujurnya ada senangnya tapi banyak juga sedihnya.
Senangnya karena tetap masih bisa kok komunikasi lewat video call atau telfon audio meskipun tidak jarang juga terhalangi oleh signal yang buruk. Suami juga selalu berusaha untuk tetap membuat hati istrinya senang dengan selalu memberikan kabar dan memenuhi kebutuhan istri. Meskipun tak jarang saya juga sering mengajaknya berantem tapi ada saja cara kita juga buat meredakan amarah.
Sedihnya itu kadang jaringan yang membatasi komunikasi kita apalagi suami sedang berlayar, kalau berlabuh atau bersandar jaringan kadang bagus tapi tak jarang juga koneksi buruk. Apapun keadaan rumah tangga saya rasakan sendiri tapi kalau jaringan lagi bersahabat saya pasti banyak cerita atau banyak bicara ke suami, suami saya tetap memberikan dukungan baik itu secara moril dan materil seluruhnya suami penuhi, fisik saja yang belum bisa menemani. Tapi saat suami cuti dia selalu menuruti keinginanku tapi yah itu lagi suami saya kebetulan kurang suka dengan jalan-jalan jadi saya pribadi butuh effort untuk ajak dia jalan-jalan keluar rumah.
Antara senang dan sedih rasa-rasanya semua bisa dijalani dengan baik. Tinggal gimana kita meregulasi rasa senang dan sedih itu sendiri. Tapi jika ditanya inginnya bisa selalu bersama utuh bersama keluarga kecilku sampai batas waktu maut yang memisahkan :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H