Pekan Olahraga Nasional (PON) baru saja usai dihelat di Aceh dan Sumatera Utara. Jawa Barat mencetak hattrick dengan menjadi juara umum untuk ketiga kali secara beruntun.
Bisa jadi sebagian dari kita mungkin tidak tahu kapan dan di mana perhelatan olahraga tingkat nasional ini diselenggarakan. Apalagi kalau ditanya berapa cabang olahraga yang dipertandingkan.
Sebagian lain akan tahu ketika berita tentang konsumsi untuk wasit dan panitia pertandingan sempat viral di media sosial.Â
Konon konsumsi yang dianggarkan 50.900 rupiah/pax disunat menjadi hanya 9000 rupiah saja. Dengan angka itu wajar saja jika wasit dan panitia hanya mendapat jatah sambal kentang + tempe goreng sebagai lauk dalam nasi box. Atau kasus pemukulan wasit oleh pemain sepak bola yang merasa dirugikan karena keputusan-keputusannya yang kontroversial.
Kontroversi memang kata yang acap kali tersemat pada setiap penyelenggaraan multievent 4 tahunan ini. Mulai dari infrastruktur, kepemimpinan wasit, hingga para atlet yang terlibat di dalamnya.
Bukan menjadi rahasia lagi jika urusan olahraga, khususnya PON dari waktu ke waktu tidak lepas dari aksi bajak membajak atlet. Provinsi dengan dukungan dana besar akan dengan mudah membeli atlet provinsi lain yang berpotensi untuk mendapatkan medali, terutama emas. Apa lagi kalau bukan atas nama gengsi?
Kemenpora bukan tidak tahu akan hal ini. Pada PON XX di Papua, Menpora yang saat itu masih dijabat Zainuddin Amali mengakui masih terjadi pembajakan atlet. Memang bukan karena uang semata tapi juga karena terbatasnya jumlah atlet cabor tertentu pada suatu provinsi sementara di provinsi lain jumlah atletnya berlimpah.
Jika demikian faktanya lalu untuk apa diadakan pra-PON sebagai ajang seleksi atlet di Provinsi? Karena banyak juga terjadi kasus atlet yang qualified dari daerah itu bisa dikalahkan oleh atlet yang baru didatangkan dari daerah lain.Â
Dari perspektif ini saja bisa diambil kesimpulan bahwa PON bukan lagi sarana untuk menjaring atlet daerah yang berpotensi untuk bersaing di level nasional. Tujuan utama PON sebagai ajang pencarian atlet juga perlu dipertanyakan lagi. Karena banyak atlet-atlet yang seharusnya sudah berada di level tertinggi masih turun di ajang yang diperuntukkan bagi yunior mereka. Mereka yang sudah berlabel olympian harusnya malu untuk bertanding di level nasional, apalagi kalau sampai kalah.
Pada PON XXI yang baru usai kasus seperti inipun terjadi lagi. Joe Aditya Kurniawan, perenang yang merasa dibesarkan oleh Pengda PRSI SulTeng oleh KONI diputuskan untuk membela DKI atas dasar keputusan dewan hakim PON. Sebagai bentuk protes, Joe saat di podium menolak mengenakan jaket kontingen DKI dan lebih memilih jaket kontingen Indonesia di Olimpiade Paris.
Buntut dari kekisruhan ini ketua Satgas kontingen Sulteng akan melaporkan kasus pembajakan atletnya ke Bareskrim. Urusan olahraga dengan jargon sportivitasnya bisa sampai ke Bareskrim, ironis!
Pemerintah melalui Kemenpora dan KONI seharusnya bisa mengurai benang kusut ini, alih-alih caper dengan membuat baliho besar dengan foto di samping  atlet yang beprestasi di level internasional.
Terbatasnya sarana olahraga di daerah menjadi PR besar karena tidak dibarengi dengan besarnya jumlah anggaran dari pemerintah untuk sektor ini. Belum lagi potensi untuk dikorupsi! Ambruknya venue saat PON yang lalu menjadi bukti bagaimana sengakrut yang terjadi.Â