"Ini buruan ku." Ucap Warno perlahan berbicara dengan senapannya. Sudah tiga hari lamanya ia berada di atas pohon dengan sabar, sabar, dan sabar.
Kesabarannya bagian dari tempaan pengalaman, keahlian yang membanggakan, berbeda dengan pemburu yang baru. Yah sah-sah saja jika itu menjadi kebanggaan atas maut yang murah harganya.
Tak ada raut muka menyesal baginya, tiga hari tinggal di atas pohon. Semua dihadapi dengan harapan menanti, mempelajari, setiap hewan yang lewat. Dalam diri tertanam keberhasilan, dan kebanggaan. Nyawa !!
Warno, dengan perlahan memperhatikan dari teleskop senapannya. Ia mencari Rusa terbesar dari sekawanan yang ada. Tidak menginginkan yang kecil. Buruan kecil merupakan aib, harga dirinya sudah membumbung tinggi oleh kebesaran dan kebanggaan.
Rusa, apakah kau tau atau tidak ? Nyawa mu, berlomba dengan rerumputan yang masuk dalam mulut mu. Tak ada sedikitpun kau mampu menyium hawa maut ! Mempercayai alam memberikan penghidupan menjadi pegangan hidup tuk terus melangkah. Hidup di tengah kelompok menambah keceriaan, saling percaya satu sama lain, indah.
"Ptar, Ptar........" dua letupan membelah ilalang, petir di siang bolong. Tak hujan, hanya mendung menutupi, rintik hujan darah deras mengalir di tanah. Kematian !!!
Kebanggaan, keahlian membuahkan hasil yang maksimal. Selamat. Warno gegas melangkah tak ingin melewatkan tragedi yang menggembirakan bagi dirinya. Ditatap buruannya, seluruh mata memastikan kematian.
"Terhapus sudah jerih payah tiga hari ku, mantabss !"
Di jelang kematian, Rusa hanya tersenyum, mencoba melahap rumput terakhirnya. Kematian tak membuatnya menangis akan akhir hidup. Kematian membawanya pada keagungan tugasnya. Terima kasih akhirnya ku dapat berkumpul dengan alam yang menghidupi aku dan keluarga ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H