[caption id="attachment_88373" align="aligncenter" width="303" caption="gizi buruk"][/caption]
Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, mala-petaka, dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati, kenapa dari kalangan-kalanganmu?
Kenapa buat tahun 1951/1952 jang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa fakultet pertanian hanja 120 orang, dan bagi fakultet kedokteran chewan hanya 7 orang?
Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan ilmu perchewanan tidak kurang penting dari studie lain-lain, tidak kurang memuaskan djiwa yang bertjita-tjita dan pada studie jang lain-lain.
Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak “tjampakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner,kita akan mengalami malapetaka!”
(Pidato Presiden RI Soekarno pada peresmian Kampus IPB Baranangsiang, 1952)
Pagi hari pelangi lincahnya pemain basket sejenak menemani keseharian menanti kuliah pagi. Sepotong roti menjadi teman. Menyandar diri duduk di undukan pinggiran lapangan basket, ingin tubuh menceburkan diri tuk bermain. Rutinitas yang selalu ku lihat hingga matahari menampakkan kekesalannya. Bagi mereka kuasa matahari tak semahal harga diri pertaruhan nilai kemenangan. Demikian diri ku, waktu kuliah adalah pemenangnya. Bayang-bayang yang selalu ku ingat. ----- Hembusan debu di musim kemarau berteman salju. Masih kutemui satu yang pasti di tengah ketidak pastian di tempat ini. Kapuk randu terhempas menyapa kehadiran ku tuk sekian kali ke tempat ini. Tangan halusnya terus mengelus cinta yang kan lahir, ikatan batin antara ia dan cinta dalam rahim terus terjalin dalam senandung cerita masa lalu dan harapan yang pasti kan menjadi bagian dari hidup. Matanya memandang ke depan, Mall Botani Squere, identitas kota. Menawarkan apa yang dibutuhkan masyarakat perkotaan. Cerita hidup terkemas dalam ruang hampa, tak ada lagi tawa dan candaan terhadap matahari, tak ada lagi coretan lumpur ketika hujan menyerang lapangan membasuh tubuh. Cerita yang tak terbayar oleh lengkapnya isi dagangan. Bahkan fantasi sekalipun yang ditawarkan. Tak menanamkan persinggungan alam dan persahabatan. Perlahan langkahnya terhenti. Tatap mata meyiratkan kecemburuan yang mendalam memandang ke a rah gedung ilmu pengetahuan yang tertutup oleh rindang pembatas ruang. “Dahulu, tatap mata ku tak terbatas oleh ruang pembatas, tak tertahan oleh himpitan keserakahan. Pertalian cinta antara tempat ku berdiri dengan bangunan itu sebegitu dekatnya”. Kini jejeran mobil yang asik bercanda dengan matahari. Lantunan gerak lincah terganti dengan lantunan gerak searah menyusur terkaman mulut Mall, “Mari masuk lihatlah apa yang ku tawarkan.” “Ah, aku pun akan termakan olehnya, mau tidak mau hari ini kan ku cari perlengkapan ku disana.” “Terik panas matahari rupanya telah berteman dengan ke sejukan di dalam. Apakah aku harus tetap berdiri di sini. Mungkin lain kali, ketika perasaan ku tak menyentil langkah ku tuk berhenti.” ------- Ya, malas sekali tubuh ini tuk berjalan. Dua hari sudah rak makanan berteriak. Teh, gula, kopi, dan roti mencoba terus menuntut kehadirannya. Hidangan terakhir. Terkadang menikmati hidangan terakhir menjadi momen yang begitu berharga. Seperti di film saja ketika seseroang yang akan dihukum mati menikmati hidangan terakhir dengan begitu nikmatnya tak pedulikan kematian yang menghadang di depan gerbang. Ah, begitu buruk contoh yang ku berikan. Mungkin perumpamaan ini terdengar merdu di hati. Hem…Perjamuan terakhir sebagai momen yang sakral, sebuah tugas dan pengharapan dari perjumpaan fisik yang akan terus menemani hingga akhir. Waduh kali ini aku berlaku bak seseorang yang mengerti akan keagungan. Saat ini yang terpenting aku butuh teh dan roti. “Persediaan terakhir ini harus ku nikmati !” Pasangan serasi teh hangat dan sehelai roti. Duh nak, rupanya kau turut merasakan. Tendangan kakimu sudah cukup memberikan tanda keriangan yang kau rasakan. Setiap gerakan mu pasti ku rasakan. Selama dalam rahim kau dan aku adalah satu. Politik, bosan ku membacanya. Tak adakah berita yang lain, selain politik ? Cukup kesal hati memperhatikan pemberitaan yang ada tak jauh dari sandiwara dari para lakon yang berwajah sembilan. Semua berkata mengatas namkan rakyat, kalau perlu tangisan kan ditampakkan agar kami mengerti kegelisahan mereka. Sandiwara yang mengalahkan kepastian cerita telenovela. Sosok protagonist, antagonis, tritagonis menjadi satu hal yang kabur dalam sandiwara politik. Masing-masing menunjukkan dirinya tokoh utama, perlakonan yang menggambarkan sosok yang harus menderita, penuh tangis, sebelum mendapatkan kebahagiaan. Aneh. Mata ku terhenti, memperhatikan artikel angka balita penderita gizi buruk di sejumlah daerah mengalami peningkatan….Ya, Tuhan masih terdapat saja kasus ini di negeri yang subur. Lahan kita terhampar luas, laut kita memberikan harta yang berlimpah tuk mencukupi kebutuhan ikan. Duh tak terpikir aku masalah ini menyangkut hidup dan mati. Aku ditempa oleh ilmu pertanian, miris rasanya mendapatkan kenyataan yang jauh dari harapan. Semoga setelah kau lahir tak kau jumpai kesedihan ini. Ku titipkan harapan untuk mu, tuk menjawab keraguan dan kegundahan saudara kita yang berada di ruang yang berbeda. Ku tak ingin cinta ku mengalami nasib serupa. ---- Dalam perjalanan hati tetap meradang, kegundahan belum terbayar. Di depan mall mata ku hanya terdiam….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H