Dompet siapa tuh jatuh, teriak seorang ibu setengah baya. Dengan spontan mata saya melihat ke bawah. Benar, tepat di bawah saya berdiri ada dompet hitam tergeletak di lantai, itu adalah dompet milik saya. Begitu saya buka, isinya telah kosong. Masih bersyukur STNK, KTP, ATM dan kartu penting lainnya masih utuh. Pencopet ini begitu baik, batin saya. Ini adalah sepenggal kisah suatu pagi di atas KRL Jabodetabek kelas ekonomi 13 tahun lalu.
Kisah petualangan dompet itu masih berlanjut. Beberapa bulan kemudian dompet itu lenyap dari saku saya sepulang kerja. Naik dari Stasiun Gondangdia pukul 5 sore kereta begitu padatnya. Untuk mengejar agar sampai rumah tidak terlalu malam, saya memaksakan diri masuk gerbong yang tidak berpintu dan tiada lampu.
Suasana di dalam kereta begitu horror, penumpang begitu padat. Badan seperti tidak bisa bergerak dan nafas seperti terasa sesak. Dorong-dorongan pun terjadi ketika ada penumpang naik maupun turun. Ketika magrib tiba, di dalam gerbong pun gelap.
Menjelang turun di stasiun Bojonggede, tanpa sengaja tangan saya menyentuh tas yang terasa aneh. Tas saya sudah sobek sepanjang 15 cm, dompet dalam tas pun telah lenyap. Dompet dalam tas sebenarnya bentuk antisipasi agar aman. Posisi tas punggung pun saya taruh di depan. Tetap saja copet itu lebih lihai.
Secara spontan saya teringat kejadian lenyapnya dompet tersebut sebelumnya. Ini pasti ulah si pencopet baik hati. Saya urungkan turun di Stasiun Bojonggede, saya ikuti kereta tersebut sampai perhentian terakhir di Stasiun Bogor. Ketika penumpang sudah turun semua, saya jongkok dan menyalakan lampu ponsel. Betapa kagetnya, di lantai gerbong tersebut berserakan sampah, beberapa dompet dan berbagai jenis kartu. Betapa lega, si dompet hitam dapat ditemukan dengan kondisi uang telah kosong tapi surat dan kartu masih utuh.
Itu adalah petualangan si dompet hitam yang terakhir. Karena tahun  2013 KRL mengalami tranformasi atau lebih tepatnya mengalami revolusi. Kisah-kisah suram dan horror di dalam rangkaian KRL tinggal kenangan.
Sebelum 2013 kisah kehilangan barang di atas rangkaian KRL merupakan cerita biasa, terjadi setiap hari. Hampir semua commuters atau orang biasa menyebutnya roker mengalami. Tas yang ditukar ataupun kecopetan ponsel dan dompet merupakan kasus yang sering terjadi. Bahkan pernah suatu kali di depan mata saya tas seorang ibu dijambret. Saat itu kereta dengan gerbong tanpa pintu berjalan pelan berangkat dari Stasiun Bogor. Seorang pemuda dengan begitu cepat merampas tas dan langsung loncat turun dari pintu kereta.
Potret ketidakamanan di atas merupakan salah satu dampak betapa buruknya tata kelola per-KRL-an di masa lalu. Tata kelola yang telah berlangsung bertahun bahkan berpuluh tahun. Suatu hal yang mustahil rasanya saat itu untuk berubah secara total seperti sekarang. Begitu banyak permakluman dan ketakutan mengajak ratusan ribu penumpang untuk berubah.
Begitu banyak persoalan sistem dan fasilitas yang memicu ataupun mendukung tindakan yang membuat penumpang tidak aman. Tiket yang masih manual dan penjagaan pintu masuk yang longgar menjadikan semua orang bisa bebas masuk. Bahkan orang yang berniat jahat pun bisa masuk dengan leluasa. Pintu kereta yang terbuka maupun kondisi gerbong yang gelap tanpa lampu membuat penjahat lebih leluasa menjalankan aksinya.
Ketidakamanan sesungguhnya sudah menimbulkan ketidaknyamanan. Kondisi itu masih diperparah dengan fasilitas yang jauh dari kata nyaman. Gerbong tak berpintu dan jendela, lampu mati, tanpa kipas angin dan pendingin ruangan sungguhlah membuat penumpang bagai di neraka Para pedagang yang berjualan di stasiun dan di atas kereta membuat suasana bertambah crowded. Bagi yang mau menikmati kenyamanan sebenarnya tersedia kereta eksekutif tapi dengan harga yang lebih mahal.