Mohon tunggu...
Setiawan Triatmojo
Setiawan Triatmojo Mohon Tunggu... -

Lahir di Rejang Lebong, 05 - 04 - 1971. Belajar filsafat umum. Pekerja sosial. Saat ini sedang mendalami teologi sosial di Paris.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebangkitan Badan

10 November 2013   06:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Minggu Biasa XXXII Tahun C. 10 November 2013.

Bacaan Kitab Suci: 2 Makabe 7,1-2. 9-14; 2 Tesalonika 2,16 - 3,5; Injil Lukas 20,27-38)

Dasarnya pada iman akan kebangkitan

Menerima iman akan kebangkitan badan, bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab ini berkaitan dengan iman akan adanya akhir jaman, sesuatu yang nanti dan kelak. Dalam hal ini dapat dikatakan akan menjadi tidak relevan jika dibicarakan sekarang. Namun benarkah demikian? Tentu saja tidak, karena faktanya, iman ini adalah iman para murid Kristus, yang percaya akan kebangkitan Kristus. Dengan adanya iman akan kebangkitan Kristus, iman akan kebangkitan badan menjadi relevan. Sebab, kata Santo Paulus, jika Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah iman kita. Namun bukan berarti ini sebuah pengandaian untuk sesuatu yang belum terjadi, melainkan penegasan bahwa justru karena Yesus bangkit, maka iman kita akan kebangkitan tidak sia-sia, juga iman akan kebangkitan badan, kelak di akhir jaman.

Uji Kasus Kaum Saduki

Bacaan minggu ini berkaitan dengan pertanyaan kaum Saduki, salah satu kelompok keagamaan dalam Yudaisme, yang tidak percaya akan kebangkitan badan dan kekekalan jiwa. (Lukas, 20,27-38). Mereka ingin menguji Yesus dengan mengajukan persoalan, jika ada kebangkitan orang mati, bagaimana nanti dengan nasib jika ada seorang wanita yang dinikahi 7 bersaudara, karena semua mati tanpa meninggalkan keturunan. Siapakah nanti yang akan menjadi suami dari wanita itu? Namun Yesus segera menolak pandangan kaum Saduki itu, “Anak-anak dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi setelah pengadilan terakhir, pada waktu kebangkitan mereka tidak lagi kawin atau dikawinkan”. Di Injil Mateus bahkan Yesus dengan tegas mengatakan kesesatan iman kaum Saduki, “Kamu sesat sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah! Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga.” (Mat 22:29-30).

Argumen tentang kekekalan Jiwa

Yesus memakai argument tentang kekekalan jiwa ketika mengutip nas Perjanjian Lama, waktu Allah memperkenalkan diri kepada Musa dalam kisah semak duri, “Akulah Tuhan, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub”. Ia bukan Allah orang mati, tetapi Allah orang-orang hidup, semua hidup karena dan bagi Dia”. Jika mengikuti argument kaum Saduki, bahwa tidak ada kekekalan jiwa, maka Allah yang juga dipercayai oleh kaum Saduki, adalah Allah dari tubuh-tubuh dan jiwa-jiwa yang sudah  hancur dari Abraham, Ishak dan Yakub. Tentu saja, jika Allah hanyalah untuk orang-orang yang masih hidup di dunia, menyebut nama ketiga Bapa Bangsa ini menjadi tidak relevan. Maka dengan menyebut diri sebagai Allah para bapa bangsa ini, mau dintunjukkan bahwa ada kenangan yang terus hidup bagi Israel atas orang-orang pilihan Tuhan ini. Dan jika ada kenangan yang harus terus dihidupi oleh mereka, berarti ada sesuatu yang terus berlanjut dan bahkan abadi. Itulah jiwa, itulah kekekalan jiwa.

Nah, karena jiwa tidak dapat mati, maka menjadi logis bahwa bicara tentang kebangkitan itu adalah tentang kebangkitan badan. Jiwa tidak perlu dihidupkan kembali, namun badanlah yang perlu. Jika secara kodrati, untuk hidup manusia di dunia, tubuh harus bersatu dengan jiwa agar manusia hidup, maka logislah pula untuk hidup yang kekal itu yang disebut melalui kebangkitan itu, adalah bersatunya kembali tubuh dan jiwa. Namun, yang tidak lagi bersifat sementara dan dapat mati, melainkan yang bersifat baru, spiritual dan abadi.

Oleh karena itu, kematian bukanlah kata akhir, sebab akan ada kelanjutannya yakni kebangkitan badan. Jika merujuk pada peristiwa Kristus, Yesus yang mati demi membuktikan kasih Allah itu menunjukkan karena semua manusia juga akan mati, namun juga karena kematian badan bukan kata akhir dan bukan kata selesai, maka kebangkitan Yesus punya makna agung yang layak untuk dijadikan sebagai pengharapan akan hidup baru yang kekal. Artinya masih ada sesuatu yang lain, yang merupakan kelanjutan dari kematian itu, yakni kehidupan yang kekal entah dalam bentuk penderitaan, entah dalam bentuk kebahagiaan kekal, yang dialami oleh jiwa yang kekal itu.

Antisipasinya dalam hidup di dunia

Dua sisi ini sudah ada antisipasinya dan pelajaran konkretnya dalam kehidupan nyata duniawi kita. Ada rasa sedih dan ada rasa bahagia. Kenapa harus ada, tentu juga demi makna selanjutnya, yang bersifat kekal. Kalau memang berhenti hanya di dunia, niscaya semua menjadi sia-sia, karena toh juga hanya akan berakhir dalam kematian. Apa yang membedakan mereka yang bahagia karena kekayaannya, dengan yang bahagia walau tidak punya apa-apa selama di dunia, jika setelah mati tidak ada apa-apa lagi?  Apa pula yang membedakan mereka yang  bersedih karena kemiskinannya, dengan yang bersedih karena kekayarayaannya, jika setelah mati mereka tidak ada kenangan lagi akan semua perasaannya itu? Jika nasib manusia berakhir sama dalam kematian yang tidak bermakna, maka tidak ada makna pula manusia yang disebut mati tenang karena usia lanjutnya, maupun yang mati tragis karena bencana atau kecelakaan, karena toh dengan kematiannya semua menjadi berakhir dan tidak ada kenangan lagi. Apakah pengalamannya selama hidupnya membuatnya punya nilai lebih, yang membuat akhir hidupnya juga menjadi berbeda? Ternyata tidak, bukan? Itu jika mati, ya tetap mati. Selesai, habis perkara. Kitab pengkotbah sudah memperingatkan kita akan hal ini. “Segala sesuatu di bawah matahari ini hanya sia-sia belaka”. Itu jika orang tidak bijaksana dalam melihat hidupnya di dunia, mengapa dia ada dan untuk apa dia ada, dan jika hidup dipandang hanyalah berakhir di kematian.

Jika ini yang benar, maka adanya dunia ini juga tidak bermakna apa-apa, sebuah fatalisme, yang malahan seharusnya tidak perlu ada dan terjadi. Untuk apa ada dunia, kalau semuanya serba fatal dan tidak bermakna? Untuk apa hidup manusia kalau hanya sekedar untuk mengalami sesuatu yang absurd? Untuk apa segala ilmu dan segala akibat kemajuannya kalau nanti juga tidak ada yang abadi. Untuk apa kemegahan dunia buatan manusia kalau semua berakhir di kematian manusia-manusia itu? Untuk itulah ada makna dari sesuatu yang berlanjut dari peristiwa kematian. Yakni kehidupan yang sama sekali berbeda, yang menjawab pertanyaan bahwa kerinduan jiwa manusia itu bersifat adikodrati dan abadi. Kerinduan akan kebahagiaan yang sejati: lewat dinamika sedih dan gembira selama hidupnya, ternyata mengisyaratkan adanya kenangan akan kekekalan jiwanya sendiri. Dan yang berdasarkan ketetapan ilahi, untuk masuk ke sana manusia harus terlebih dahulu mengalami kematian, dan baru setelah itu, kebangkitan.

Kematian dan Kebangkitan Kristus adalah Jaminannya

Tapi bagaimana bisa mengimani kebangkitan badan kalau tidak ada rujukannya? Kebangkitan Kristus adalah jaminannya, yang dikatakan-Nya bahkan sebelum kematian-Nya, “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, akan hidup”. Inilah hidup selamanya dalam kebahagiaan dan cinta sejati. Itulah makna kebangkitan bagi orang-orang benar. Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak percaya? Karena jiwa bersifat kekal, maka juga ada kebangkitan badan untuk mereka yang tidak percaya pada kebangkitan Kristus. Dan Yesus mengajarkan bahwa pada penghakiman terakhir nanti, “mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum”.

Jadi tampak di sini bahwa penghakiman terakhir itu diberlakukan bagi seluruh manusia dalam keutuhan badan yang telah dibangkitkan yang telah bersatu kembali dengan jiwanya, dan bukan jiwanya saja. Santo Yohanes Krisostomus menegaskan karena ketika manusia hidup, lalu yang berbuat baik atau berbuat dosa adalah jiwa dalam kebersamaan dengan tubuhnya, maka logislah pula ketika manusia mendapat ganjaran atau hukuman di hari penghakiman terakhir nanti adalah baik jiwa maupun tubuhnya juga. Dan dengan demikian logis pula bahwa karena jiwa sudah bersifat kekal, maka yang dimaksud dengan kebangkitan di sini adalah kebangkitan badan.

Efek dari Pengadila Terakhir

Tapi mengapa ada yang hidup kekal untuk bahagia, sedang ada pula yang hidup kekal untuk menderita? Jawabannya terkait dengan penebusan Kristus atas dosa manusia. “Kristus telah dibangkitkan dari orang mati sebagai yang sulung dari orang- orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena satu orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. Tetapi tiap- tiap orang menurut urutannya: Kristus sebagai buah sulung; sesudah itu mereka yang menjadi milik-Nya pada waktu kedatangan-Nya” (1 Kor 15:20-23). Tampak jelas di sini penegasan bahwa efek dosa adalah maut. Maka jika seseorang menolak penebusan Kristus, tidak percaya dan tidak hidup seturut perintah-Nya, tidak menikmati santapan hidup dan kekal, maka ia akan berada dalam kekekalan penderitaan. Jadi ada yang masuk dalam hidup kekal dan ada yang dalam kematian kekal.

Selamat Berhari Minggu. Salam Kompasiana. Selamat Hari Pahlawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun