Mohon tunggu...
Setiawan Triatmojo
Setiawan Triatmojo Mohon Tunggu... -

Lahir di Rejang Lebong, 05 - 04 - 1971. Belajar filsafat umum. Pekerja sosial. Saat ini sedang mendalami teologi sosial di Paris.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi-Ahok: Ditelanjangi oleh Steven R. Covey

4 Oktober 2013   04:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01 7916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Introduksi

Saya cukup yakin bahwa di antara kita banyak yang pernah membaca sebuah buku tulisan Steven R. Covey tentang 7 Kebiasaan Baik pemimpin.  Steven menjelaskan 7 kebiasaan baik itu dalam diagram 3 paradigma yakni Paradigma Ketergantungan, Paradigma Kemandirian dan Paradigma Kesaling-tergantungan. Steven mengajak kita untuk berproses melewati tiga paradigma ini , tidak hanya sekedar untuk tahu, namun berusaha menanamkannya  sebagai sikap atau keutamaan diri dan selanjutnya  menjadikannya sebagai kebiasaan.

Paradigma Ketergantungan.

Dalam paradigma pertama digambarkan bahwa kita semua sebetulnya sering menempatkan diri tergantung pada orang lain, sehingga keberhasilan ataupun kegagalan hidup kita, dipandang karena dan terkait erat dengan apa yang dilakukan orang lain. Jadi ketergantungan di sini adalah ketidak-mandirian. Karena diri kita adalah satu pribadi, maka kita menjadi tergantung pada pribadi-pribadi lain atau publik. Sifat ini dapat terjadi di mana-mana dan dapat melanda siapa saja. Alih-alih melihat kelemahan dirinya sendiri, kita malah lebih sering melihat kelemahan orang lain, namun hanya untuk membenarkan diri kita sendiri. Atau sebaliknya kalau ada masalah karena kekurangan kita, kita bukannya menyadari kelemahan dirinya sediri, namun malah mencarikan kesalahannya pada orang lain. Paradigma ketergantungan ini dapat membuat kita akan mudah mencari kambing hitam. Tentu saja tak ada kebiasaan baik dalam diri kita, kalau kita punya paradigma ketergantungan ini, karena memang kita lalu tidak dapat berbuat apa-apa.

Paradigma Kemandirian

Nah, kebutuhan yang terutama pada orang yang punya sifat ini adalah kebutuhan agar ia bisa keluar dari jerat ketergantungan itu. Ia harus keluar dari  ketidakmandiriannya dan menjadi mandiri. Maka tahap ini disebut paradigma kemandirian. Tiga  kebiasaan baik pertama yang ditawarkan oleh Steven ini mengajak kita untuk mandiri yakni : pro-aktif, punya visi-misi dan bisa menentukan prioritas. Dengan tiga kebiasaan baik ini, kita akan bisa mandiri. Maka proses melewati ketergantungan menuju kemandirian ini disebutnya «kemenangan wilayah pribadi. Orang yang mandiri, berdikari, berdiri di atas kaki sendiri disebut sebagai orang yang sudah memenangkan wilayah dirinya sendiri.

Paradigma Kesaling-tergantungan

Namun, panggilan kita tak cukuplah hanya sekedar menjadi mandiri, sebab dengan kemandirian kita hanya berhenti pada diri kita sendiri, padahal setiap pribadi pasti hidup bersama dengan pribadi-pribadi lain. Oleh karena itu harus ada proses berikut agar kita dapat memenangkan pribadi-pribadi lain ini. Steven memandu kita dengan tiga kebiasaan baik berikut yakni: Negosiasi, Empati dan Sinergi. Dengan ketiganya kita, sebagai seorang pribadi dapat memenangkan apa yang disebut sebagai wilayah publik. Sebab itu yang berlaku di sini disebut paradigma kesaling-tergantungan, karena pada dasarnya semua orang saling tergantung. Dan supaya keenam sifat baik kita itu makin baik lagi, maka kita musti punya satu sifat lagi yakni sifat mau terus mengasah, memperbaiki, dan mengulang-ulang sifat-sifat baik itu, sehingga semuanya menjadi kebiasaan. Karenanya kemudian disebut 7 kebiasaan atau habitus baik pemimpin, karena pada hakikatnya setiap orang adalah pertama-tama pemimpin bagi dirinya sendiri (agar mencapai kemenangan wilayah pribadi/menjadi mandiri: kebiasaan 1,2,3), dan atau apalagi kalau kemudian ia adalah juga pemimpin bagi orang lain (yang dituntut untuk bisa memenangkan wilayah publik: kebiasaan 4,5,6).

Dalam tulisan ini saya mencoba meringkaskan 7 Kebiasaan Baik Pemimpin itu dan mencoba sekedar mengkonfrontasikannya dengan seorang tokoh yang sedang digadang-gadang untuk tampil di pilpres 2014, yakni Joko Widodo, gubernur DKI saat ini dan juga wakilnya, Ahok. Apakah mereka memiliki 7 kebiasaan baik ini? Jika “ya”, maka sebetulnya kita tidak perlu bertanya-tanya lagi apakah mereka juga akan mampu menjadi pemimpin masa depan bagi Negara kita.

Kebiasaan 1 : Proaktif

Pro-aktif dapat diartikan sebagai berpihak pada « aktif ». Berpihak pada sifat aktif berarti tidak pernah berhenti untuk bergerak dalam hal-hal yang baik. Kita tahu bahwa bahwa segala sesuatu di sekitar kita melibatkan tanggungjawab kita sebagai tanggungjawab sosial. Dan tanggungjawab sosial ini terbagi dalam tanggungjawab hukum (langsung) dan tanggungjawab moral (tak langsung). Sebuah prinsip dalam melakukan sesuatu tanpa disuruh atau diminta, karena sadar bahwa tindakan itu baik dan berguna. Kesadaran bahwa sesuatu baik dan berguna untuk dikerjakan itu merupakan bentuk tanggungjawab moral. Dan sifat pro-aktif ini berkaitan dengan tanggungjawab moral itu. Sifat aktif hanya bersifat netral dan tidak punya nilai lebih jika hanya otomatis dan mekanis, apalagi kalau tergantung dari sesuatu di luarnya yang menentukan dan menggerakkannya (tanggungjawab langsung/hukum), bekerja hanya apa yang menjadi tugasnya berdasarkan juklak, misalnya.  Dalam konteks pembicaraan tentang tokoh kita, blusukan ala Jokowi, datang ke lokasi masalah ala Ahok, dan aktivitas mereka yang terus menerus mencoba melihat akar masalah langsung di lapangan dapatkah disebut sebagai contoh yang baik untuk sifat pro-aktif ini? Apakah sebagai gubernur dan wakil gubernur  DKI, Jokowi-Ahok  tidak hanya aktif, namun lebih dari itu, mereka pro-aktif? Tampaknya kita tidak ragu untuk memberi jawaban “YA” dan “YA”.

Kebiasaan 2: Kemampuan membuat Visi dan Misi

Sifat baik kedua adalah kemampuan menyusun  visi dan misi yang baik. Dalam diri seseorang diharapkan ada kemampuan kepemimpinan dan managemen sekaligus. Kepemimpinan adalah kemampuan membuat visi dan managemen adalah kemampuan membuat misi untuk tercapainya visi itu. Kepemimpinan adalah soal « apa »nya dan managemen adalah soal « bagaimana »nya. Visi adalah pandangan ke depan, cita-cita, tujuan ke arah mana sesuatu ingin dibawa, ke titik ideal mana misalnya sebuah masyarakat akan menuju. Seorang pemimpin akan disebut visioner, jika visinya jelas, baik dan masuk akal. Steven menyebut bahwa titik akhir itu adalah sekaligus titik berangkat. Titik berhenti nanti adalah sekaligus titik-mulai. Berawal di akhir dan berakhir di awal. Maka sangat diandaikan di sini sebuah visi itu adalah sesuatu yang sudah sangat jelas, ibarat seseorang yang mengambil master dalam mata kuliah tertentu. Apakah kedua tokoh kita adalah pemimpin dengan kemampuan kepemimpinan dan managemen yang baik? Dengan Jakarta Barunya dan upaya-upaya yang dibuatnya untuk mendukung Jakarta Baru itu, kita juga tidak ragu untuk mengatakan “YA”.

Kebiasaan 3: Kemampuan menentukan Prioritas

Steven menyebutnya dengan kebiasaan dapat mendahulukan apa yang harus didahulukan. Seorang pemimpin yang mandiri adalah pemimpin yang juga secara sendiri mengatur dan menyusun prioritas. Prioritas yang baik tentu saja adalah prioritas yang didasarkan pada kebutuhan real berkaitan dengan visi misi tadi. Inilah kemampuan menerjemahkan visi dan misi dengan mempertimbangkan nilai optimal terhadap waktu, biaya dan hasil atau daya guna. Dalam hidup dengan jenis pekerjaan yang banyak, setiap orang musti membuat prioritas. Tolok ukurnya adalah: penting dan mendesak sebagai urutan pertama. Dalam bidang politik prioritas ini ada dalam kaitan dengan visi kesejahteraan umum. Dan dalam visi ini, perhatian kepada kaum miskin (yang belum sejahtera) ada di urutan yang pertama. Jika tidak, selamanya tidak aka nada dan tercapai yang namanya kesejahteraan bersama. Apakah Jokowi-Ahok berada di jalur yang benar? Dari yang sudah dibuat mustinya kita berani menyimpulkan “YA”, walau ada yang menafsirkan secara berbeda.

Dengan memiliki tiga kebiasaan baik pertama ini, kita tidak ragu untuk menyebut bahwa Jokowi-Ahok adalah orang-orang yang memang sudah mandiri. Ini modal yang amat penting bagi seorang pemimpin. Dengan mandiri, sudah dapat dijamin bahwa mereka pasti bisa bekerja. Yang tidak sanggup bekerja adalah orang-orang yang tidak mandiri. Tapi itu belum cukup. Kita mau uji dengan tahap berikut. Dalam paradigm kesaling-tergantungan.

Kebiasaan 4: Kemampuan Negosiasi

Negosiasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi, untuk tawar-menawar, untuk melobi, untuk melakukan pendekatan, untuk berdialog. Ini adalah prinsip yang mendasari hubungan antar manusia yang efektif dan bersifat jangka panjang, yang menuntut kondisi agar saling menguntungkan. Paradigma kuncinya adalah “kita memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kita dengan orang lain melalui kerjasama secara saling tergantung”. Proses dasarnya adalah menyeimbangkan keberanian dalam mencari manfaat bersama, ulet dalam mencari hasil menang-menang meskipun masih terikat kondisi menang-kalah. Steven mengajak kita untuk melihat bahwa kita ini partner yang sederajat. Walau berstatus pemimpin dan rakyat, agar bisa efektif mencapai visi kesejahteraan tadi, musti harus ada negosiasi, saling bicara dan saling mendengarkan. Dalam yang namanya dialog dan negosiasi, hasil akhir adalah kesepakatan bersama. Karena kesepakatan, maka tidak ada yang kalah dan yang menang, melainkan dua-duanya dimenangkan. Tetapi tentu saja keduanya diandaikan musti taat pada aturan main yang sama. Dalam hal ini, misalnya Undang-undang yang berlaku. Apakah Jokowi-Ahok, memenuhi kriteria punya kemampuan bernegosiasi? Tampaknya kita juga tidak ragu untuk mengatakan “YA”. Mereka sama-sama sudah mempraktekkannya, minimal sudah berbeda dari yang selama ini ada. Soal sampai dimana tingkat kemampuan negosiasinya, kita masih punya banyak kesempatan untuk terus mengujinya.

Kebiasaan 5: Kemampuan berempati

Empati adalah kemampuan untuk solider, tepa selira. Sebuah keutamaan dapat menempatkan diri  pada posisi orang lain. Masuk ke dalam kerangka acuannya, sehingga bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini tidak selalu berarti bahwa kita secara nalar setuju dengan pendapatnya, melainkan bisa mengerti  sudut pandang (paradigma) orang yang bersangkutan. Bisa mengungkap apa yang terpendam, dan pendek kata benar-benar bisa menjadi wakil penuh untuk orang yang menaruh harapan kepadanya. Seorang pemimpin adalah wakil rakyat, karena itu ia musti memahami betul situasi dan kondisi rakyatnya dan sanggup menemukan solusi yang terbaik bagi rakyatnya. Seorang pemimpin yang tidak punya empati, pasti tidak akan tersentuh oleh problematika yang dihadapi rakyatnya, sehingga bisa membuat dia punya gaya hidup yang benar-benar berbeda dan bertentangan dengan kondisi rakyatnya. Sudah barang tentu pemimpin tanpa empati, takkan sanggup turun ke bawah berbaur dan menyatu dengan rakyatnya. Ia akan menjadi priyayi dan tuan, yang harus dilayani. Bisa menikmati kemakmuran tanpa rasa berdosa di atas derita rakyatnya sendiri. Apakah tokoh kita punya kebiasaan baik empati ini ?

Kebiasaan 6: Kemampuan bersinergi

Sinergi adalah kemampuan untuk memanfaatkan potensi-potensi baik: kerjasama, kepercayaan, syukur atas perbedaan dan keanekaragaman, keterbukaan pada kontribusi yang optimal, keterbukaan untuk terus mencari perspektif yang beragam, untuk mengganti yang lama dan berinovasi pada peluang-peluang baru dlsb. Pendek kata inilah kebiasaan baik di mana segala potensi baik itu bisa dipadukan secara berdaya-guna. Seorang pemimpin musti punya kemampuan ini karena ia akan dan harus bekerja-sama dengan sebanyak mungkin elemen yang masing-masing punya potensi atau malah modal (tenaga, barang dan jasa) yang bisa dimanfaatkan untuk tercapainya visi kesejahteraan umum tersebut. Modal dan kesempatan boleh saja ada banyak, tetapi akan menjadi sia-sia, kalau tidak bisa disinergikan. Bagaimana dengan tokoh kita ?

Kebiasaan 7: Asah Gergaji

Kebiasaan baik yang ketujuh adalah yang paling dianjurkan, namun jika sudah mempunyai enam kebiasaan baik sebelumnya itu. Dan supaya keenam sifat baik itu makin baik lagi, maka kita musti punya satu sifat lagi yakni sifat mau terus mengasah, memperbaiki, dan mengulang-ulang sifat-sifat yang baik itu, sehingga semuanya menjadi kebiasaan sehingga semuanya makin dikuasai, menjadi milik yang bersifat lestari. Karenanya kemudian disebut 7 kebiasaan atau habitus baik pemimpin. Jika sudah menjadi milik yang abadi, tak berubah di manapun seorang pemimpin berada, maka ia tidak butuh upaya-upaya pencitraan dan kampanye-kampanye yang menghabiskan banyak biaya, karena kebiasaan baik seorang pemimpin bukanlah barang yang bisa dibeli dengan uang.

Semoga muncul makin banyak lagi Jokowi-Ahok, Jokowi-Ahok di semakin banyak tempat di Indonesia, yang punya 7 kebiasaan baik seorang pemimpin, yang siap membawa bangsa dan negara Indonesia ke Tanah Idaman, yang tidak pakai "LAMA" lagi.

Salam Kompasiana . Salam Indonesia Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun