Ada yang tak sempat kau lihat dari pepohonan, sungai,gunung, dan aku. Aku tulang tak berongga yang kuat seperti saat kau menginjaknya dan aku masih baik-baik saja. Aku pernah melihat gunung menangis saat itu, umpama anak yang kehilangan air susu ibunya, jeritanya tak pernah ku dengar, bahkan ketika burung-burung berhenti bersenandung. Ini adalah kesedihan yang belum ada namanya, menghardik seisi hati para pendaki.
Aku takut gunung mulai muak, dan mengeluarkan seisi perutnya seperti saat itu. Saat kita berjanji didepan mereka untuk tak saling menodai.
Di lereng gunung itu ada yang terlupakan, dua bayangan yang saling bersembunyi, satu dibalik punggungku satunya lagi tepat dihatimu.. Menunggu siapa yang mulai lelah, tanpa kabar dan berita lalu pergi begitu saja.Â
Menapaki setiap getir dan getar jalan setapak, lobang dan jurang sepi yang telah kau buat. Aku sengaja jatuh kedalamnya agar kau tahu, aku mencintai setiap perbuatanmu.
Kini malam memecah siang, mengusir riuh di kaki gunung, menyisakan rumput yang bergoyang dan aku mulai bertanya padanya, "apa bencana itu terjadi padaku?". Sementara Getah dari liur pohon karet itu tidak kunjung kering, begitu pula hati dan keinginanku, memelukmu sekali lagi dan mencongkel matamu yang indah.
Aku akan memanggilmu sayang, untuk terakhir kalinya ,lalu bunuh diri.., menyisakan sebuah puisi tentang gunung, sungai , dan kau..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H