Sejalan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Perancis, hoaks di Indonesia juga terjadi dalam Pilpres 2014 ketika duel antara Jokowi-JK melawan Prabowo-Hatta. Kemudian kembali terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu terjadi "duel panas" kedua paslon, Ahok-Djarot dan Anies-Sandi di media sosial. Kedua pendukung menggunakan hoaks untuk mendukung jagoan politiknya tersebut. Propaganda politik Indonesia berlanjut pada pilpres 2019. Duel Jokowi-Maruf melawan Prabowo-Sandi disebut-sebut mempolarisasi dua kutub masyarakat. Kubu pendukung 01 melempar hoaks kepada kubu 02 sebagai pendukung khilafah. Sebaliknya, kubu 02 melempar hoaks melalui isu PKI dan kebocoran anggaran. Kedua kubu mencitrakan diri pada fakta alternatif yang disebut post-thruth. Artinya, kebenaran data tidak lagi didasarkan atas pertimbangan objektif, empirik dan ilmiah, namun lebih pada preferensi emosi dan media instrumennya.
Dengan demikian, hoaks sudah berlangsung lama, namun media penyebarannya berbeda. Hoaks, di zaman modern tidak bersifat langsung secara lisan atau media-media tulisan cetak melainkan menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi yaitu media sosial. Aditiawarman, dkk, (2019), mempertegas bahwa hoaks merupakan fenomena kebahasaan yang sudah lama mencuat hingga ramai diperbincangkan publik belakangan ini. Jadi, hoaks sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi sebagai medianya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H