Jumlah korban meninggal akibat virus corona di Indonesia hingga kemarin Jumat (10/04/2020) sudah mencapai 306 orang, dari 3.512 pasien positif dan 282 pasien sembuh. Angka tersebut kian hari kian bertambah meski berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah.
Ironisnya, korban meninggal covid-19 justru banyak mengalami penolakan ketika akan dikebumikan. Dilansir Kompas.com penolakan terjadi di berbagai wilayah seperti Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Karawang. Bahkan, yang viral baru-baru ini terjadi di Sewakul, Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa jenazah covid-19 ditolak oleh masyarakat untuk dikebumikan?Â
Padahal penguburan jenazah tersebut memiliki prosedur yang sudah ditetapkan. Bahkan, MUI menilai bahwa menolak penguburan jenazah covid-19 termasuk perbuatan dosa.
Stigmatisasi Sosial
Stigmatisasi sosial atau pelabelan (labelling) merupakan istilah stereotip bahwa identitas diri atau seseorang serta perilaku individu dipengaruhi oleh kecenderungan mayoritas yang secara negatif bahwa seseorang dianggap menyimpang dari norma budaya standar. Stigmatisasi sosial seringkali dialamatkan kepada pelaku kejahatan, sakit mental, atau perilaku lain yang tidak sesuai khalayak masyakat biasanya.
Pada praktiknya, stigmatisasi sosial berkembang menjadi teori sosial dengan pendekatan pada paradigma interaksi simbolik. Teori ini diklaim berakar pada pemikiran sosiolog Perancis, Emile Durkheim dengan karyanya Suicide.Â
Baginya, kejahatan bukanlah semata pelanggaran hukum pidana, melainkan kejahatan bisa membuat masyarakat marah. Oleh karena itu, pelabelan perlu dialamatkan kepada berbagai perilaku menyimpang agar mampu mengendalikan perilaku masyarakat.
Teoritikus yang terkenal dari kalangan Chicago School, George Herbert Mead mengembangkan teori ini dalam karyanya Mind, Self, and Society (1934). Menurut Mead, diri (self) itu dibangun dan direkonstruksi secara sosial melalui interaksi yang dimiliki setiap orang dengan masyarakat luas.Â
Orang memperoleh label dari cara orang lain melihat kecenderungan atas perilakunya. Akhirnya setiap individu menyadari bagaimana ia dinilai oleh orang lain karena telah mencoba berbagai peran dan fungsi yang berbeda dalam interaksi sosial sehingga mampu mengukur reaksi diri mereka yang hadir.
Jika dirumuskan, terdapat empat poin adanya stigmatisasi sosial:
Pertama, peran sosial. Peran sosial adalah seperangkat harapan yang dimiliki tentang perilaku. Peran sosial diperlukan untuk organisasi dan fungsi masyarakat atau kelompok mana pun. Peran sosial ini diwujudkan dalam bentuk penyediaan media sosialisasi, termasuk di dalamnya, norma dan budaya.
Kedua, penyimpangan. Penyimpangan disini bukan berarti kesalahan secara moral, melainkan perilaku yang dikutuk oleh masyarakat. Perilaku menyimpang dapat mencakup kegiatan kriminal dan non-pidana, atau aktivitas non-norma masyarakat.
Ketiga, subjektivitas. Individu atau kelompok yang lebih refresentatif secara sosial seperti polisi, hakim, atau pemerintah memiliki penilaian yang lebih dihormati atau bahkan ditaati secara luas. Oleh karenanya, jika subjektivitas dilakukan maka akan menimbulkan reaksi kelompok secara besar.
Keempat, makna atau citra diri. Yakni arti dari proses stigmatisasi sosial akibat ide-ide yang dibangun tentang suatu fenomena.
Lebih jauh, Bruce Link dan kolega dalam risetnya menyatakan bahwa efek negatif dari adanya pelabelan ini adalah penarikan diri dari masyarakat karena di cap sangat buruk bahkan diibaratkan memiliki gangguan mental yang kontinu. Akibatnya, sikap penolakan dan hinaan tumbuh secara drastis sehingga merusak reputasi dan kualitas hidup.
Minim Pengetahuan atau Ketakutan?
Menilik kasus penolakan jenazah covid-19 tidak salah tampaknya jika hal ini akibat adanya stigmatisasi sosial masyarakat. Meski bukan bagian dari perilaku menyimpang, namun alasan penolakan warga seperti tidak adanya pemberitahuan sebelumnya, terlalu dekat dengan pemukiman, hingga desakan/aspirasi warga tidak selayaknya dilakukan.Â
Hal tersebut semakin menunjukkan adanya stigmatisasi yang tinggi dalam masyarakat. Padahal, jelas-jelas jenazah tersebut tidak berbahaya karena sudah melalui prosedur yang baik.
Jika melihat antusias masyarakat terhadap perlawanan corona yang mulai membaik, hal ini justru berbading terbalik dengan penolakan yang terjadi. Miris sekali melihat seorang perawat, sebagai pahlawan kesehatan yang gugur karena corona jenazahnya justru ditolak, bahkan hanya untuk dimakamkan.
Selain itu, wejangan MUI pun tidak diindahkan warga, bagi warga sebuah aib memang akan tetap aib, tentu aib harus dijauhkan dari lingkungan sekitarnya, sebuah aib akan berdampak pada kehidupan lainnya. Kurang lebih begitulah pemahaman warga akan penolakan tersebut.
Bagaimana pun, pengetahuan dan pemahaman warga mengenai prosedur dan efek pemakaman jenazah covid-19 perlu diketahui khalayak umum agar penolakan tidak terjadi kembali. Artinya, pemahaman yang baik akan mengedepankan objektivitas mengenai fakta di lapangan, bukan pandangan sepihak tanpa alasan yang jelas. Apalagi megedepankan emosional yang berbasis kepentingan kelompok.
Akhirnya, ketakutan akibat minimnya pengetahuan harus bisa dihindari, ditambah dengan mengedepankan aspek kemanusiaan dan keadilan. Bagaimana pun, jenazah covid-19 bukanlah pelaku penyimpangan yang harus dihinakan, distereotipisasi senegatif mungkin.Â
Mereka tetap manusia yang harus dikasihi dan diberi keadilan sebagai sesama manusia. Covid-19 merupakan musuh manusia bersama di seluruh dunia, jika terpapar pada manusia yang menjadi musuh tetap virusnya, bukan manusianya secara utuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI