Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penolakan Jenazah Covid-19 dan Stigmatisasi Sosial

11 April 2020   11:26 Diperbarui: 11 April 2020   11:21 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: penolakan jenazah covid-19 di Semarang (Sumber: Tirto.id)

Jumlah korban meninggal akibat virus corona di Indonesia hingga kemarin Jumat (10/04/2020) sudah mencapai 306 orang, dari 3.512 pasien positif dan 282 pasien sembuh. Angka tersebut kian hari kian bertambah meski berbagai kebijakan telah dikeluarkan pemerintah.

Ironisnya, korban meninggal covid-19 justru banyak mengalami penolakan ketika akan dikebumikan. Dilansir Kompas.com penolakan terjadi di berbagai wilayah seperti Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Karawang. Bahkan, yang viral baru-baru ini terjadi di Sewakul, Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa jenazah covid-19 ditolak oleh masyarakat untuk dikebumikan? 

Padahal penguburan jenazah tersebut memiliki prosedur yang sudah ditetapkan. Bahkan, MUI menilai bahwa menolak penguburan jenazah covid-19 termasuk perbuatan dosa.

Stigmatisasi Sosial

Stigmatisasi sosial atau pelabelan (labelling) merupakan istilah stereotip bahwa identitas diri atau seseorang serta perilaku individu dipengaruhi oleh kecenderungan mayoritas yang secara negatif bahwa seseorang dianggap menyimpang dari norma budaya standar. Stigmatisasi sosial seringkali dialamatkan kepada pelaku kejahatan, sakit mental, atau perilaku lain yang tidak sesuai khalayak masyakat biasanya.

Pada praktiknya, stigmatisasi sosial berkembang menjadi teori sosial dengan pendekatan pada paradigma interaksi simbolik. Teori ini diklaim berakar pada pemikiran sosiolog Perancis, Emile Durkheim dengan karyanya Suicide. 

Baginya, kejahatan bukanlah semata pelanggaran hukum pidana, melainkan kejahatan bisa membuat masyarakat marah. Oleh karena itu, pelabelan perlu dialamatkan kepada berbagai perilaku menyimpang agar mampu mengendalikan perilaku masyarakat.

Teoritikus yang terkenal dari kalangan Chicago School, George Herbert Mead mengembangkan teori ini dalam karyanya Mind, Self, and Society (1934). Menurut Mead, diri (self) itu dibangun dan direkonstruksi secara sosial melalui interaksi yang dimiliki setiap orang dengan masyarakat luas. 

Orang memperoleh label dari cara orang lain melihat kecenderungan atas perilakunya. Akhirnya setiap individu menyadari bagaimana ia dinilai oleh orang lain karena telah mencoba berbagai peran dan fungsi yang berbeda dalam interaksi sosial sehingga mampu mengukur reaksi diri mereka yang hadir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun