Nganufacturing Hope: Wesi Gung Susuhing Angin
(Artikel ini ditulis untuk menyemarakkan lomba Nganufacturing Hope yang diadakan oleh milis KRL-Mania@yahoogroups.com dan FB: Solidaritas Jabodetabek untuk Pelayanan KRL yang Lebih Baik)
Suatu ketika Bima diperintah Begawan Durna untuk mencari "kayu gung susuhing angin". Sebenarnya, Ia tidak bisa membayangkan seperti apa wujud kayu besar tempat angin bersarang. Namun, kepatuhan dan rasa hormat pada Sang Guru, membulatkan tekat Bima untuk melaksanakan perintah itu.
Yudhistira, kakaknya dan seluruh kerabat Pandawa berusaha mencegah kepergiannya. Mereka curiga, perintah itu hanya tipu daya yang dibisikkan oleh Sengkuni pada Begawan Durna untuk mencelakakan putra kedua Pandawa. Sebab, jika Bima celaka, maka kekuatan Pandawa akan rapuh. Namun Bima tetap pada pendiriannya. Ibarat lagu dangdut, gunung kan kudaki, lautan kuseberangi.
Sepenggal kisah di dunia pewayangan itu sering menjadi pengantar tidur ketika saya masih kecil. Dulu, saya belum paham apa makna dibalik kisah yang tak kalah seru dari petualangan superhero. Tapi dalam sesak kereta, saya menemukan refleksi kekinian dari kisah itu.
Wajah perkeretaapian selama ini terkesan muram dan carut marut. Setidaknya itu gambaran yang berkembang di masyarakat, apalagi di kalangan pengguna kereta. Sebelumnya saya jarang bersentuhan secara intim dengan dunia kereta, saya tidak percaya begitu saja. Karena itu saya mencoba mencari informasi lebih mendalam tentang kereta api.
Sebagai menteri BUMN, sebenarnya saya bisa mengangkat telepon, menghubungi jajaran direksi PT KA. Namun saya menunda hasrat itu. Masalah itu nantilah, setelah saya mengerti betul kenyataan di lapangan. Setidaknya ketika direksi berkata ini-itu, saya bisa menjawab kok kenyataannya begitu.
Pertama, saya cari informasi di dunia maya, cara paling praktis untuk mengetahui sesuatu. Lewat pertolongan Mbah Google, si mesin pencari fakta, saya menemukan berbagai komunitas pengguna kereta baik di milis, fesbuk atau twitter. Di jaman canggih, orang sering berkeluh kesah dan berbagi informasi di jejaring sosial. Saya pikir, dengan dekat dengan pengguna kereta pasti kita tahu kondisi dan kenyataan yang ada di lapangan.
Dengan memakai akun email dan nama samaran, saya pun ikut bergabung dalam berbagai komunitas pengguna kereta, salah satunya milis KRLmania, forum komunikasi penumpang kereta listrik (KRL) sejabodetabek. Kalau dulu orang berpendapat bahwa dengan duduk manis di belakang meja kita tidak tahu kondisi di lapangan, sekarang pendapat itu terpatahkan.
Sembari duduk pun kita bisa tahu bahwa berita tentang kereta yang telat, kerusakan sinyal dan wesel, atapers kesetrum, kipas angin mati dan lain-lain. Informasi yang sangat detail lengkap dengan foto-foto. Dengan begitu, sebagai pejabat publik saya tahu berbagai masalah yang selama ini dialami pengguna kereta. Maka saya tidak akan gegabah mengatakan bahwa Ataper (penumpang di atap kereta) hanya mendominasi atap KRL Ekonomi. Nyatanya jika terjadi gangguan, ataper juga tak segan-segan nongkrong di atap KRL Commuter Line.
Tak puas hanya mendapat informasi dari dunia maya, saya mencoba melakukan sidak dengan mencoba naik kereta di jam sibuk. Tentu saja, sidak yang saya lakukan benar-benar mendadak. Tak seorangpun saya beritahu. Bahkan saya melakukan penyamaran, memakai topi, kumis dan jenggot. Sebab wajah saya terlalu familiar, kalau nongol tanpa penyamaran tentu terlalu menarik perhatian. Saya takut dibilang sekedar pencitraan, ujung-ujungnya dikaitkan dengan pemilu 2014.