Mohon tunggu...
Setiaji Kusuma
Setiaji Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penyuka ilmu pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pilpres 2024 Tidak Sesuai Nilai Etika?

24 Januari 2025   21:05 Diperbarui: 24 Januari 2025   21:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Muncul pertanyaan dari Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjadi kuasa hukum tim Prabowo-Gibran pada sidang sengketa hasil Pilpres 2024 lalu yang bertanya kepada Franz Magnis Suseno sebagai saksi ahli pada perkara tersebut.

Yang menjadi pertanyaannya intinya ialah terkait perbedaan antar etika dalam kerangka hukum (kode etik) dengan etik dalam filsafat. Tentunya pertanyaan itu diajukan karena melihat latar belakang daripada ahli yang menguasai bidang filsafat.

Perlu kita ketahui bersama bahwa terjadinya sengketa hasil Pilpres pada 2024 kemarin terjadi karena adanya penilaian yang kurang etis dari kemenangan Paslon 02 (Prabowo-Gibran). Yang menjadi isu utama yaitu ada keterlibatan dari beberapa pejabat yang atas tindakannya mampu mensukseskan Paslon 02, salah satunya yaitu keterlibatan MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang dianggap meloloskan Gibran. 

Selain itu pula keterlibatan lainnya seperti pengaruh Jokowi, pemberian bansos dengan atas nama Paslon 02, dan isu bagi-bagi jabatan merupakan bagian dari penilaian Paslon 01 dan Paslon 03 yang atas analisisnya itu dinilai kesusksesan Prabowo-Gibran menjadi presiden dan wakil presiden tidak sah dan tidak etis.

Pada putusan MK tersebut di atas telah menuai kontroversi, keterlibatan antara Hakim Ketua Anwar Usman dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai keponakannya. Menurut Mahfud MD , dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab, mengatakan bahwa hakim ketua telah melanggar asas dalam dunia kehakiman yang mengatakan nemo judex in causa sua yang berarti hakim tidak boleh memutus perkaranya sendiri. 

Kemudian, dengan dinyatakan oleh MKMK bahwa telah terjadi pelanggaran kode etik oleh hakim ketua tersebut. Hal demikian yang melatarbelakangi pertanyaan terkait perbedaan antar etika dengan kode etik. Pasalnya menurut Yusril sendiri, pelanggaran kode etik tersebut tidak berdiri sendiri (karena kasus yang melanggar kode etik) melainkan terdapat penyebab yaitu pelanggaran kode etik itu dikarenakan adanya pelanggaran terhadap nilai etika.

Menanggapi pertanyaan tersebut, ahli berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara etika dalam kerangka hukum dengan etika dalam filsafat, tetapi suatu ketentuan etis yang tidak ditentukan oleh hukum tidak dapat ditindak oleh hakim yang berarti hakim memutus berdasarkan ketentuan undang-undang. Konsisten dengan pendapatnya dalam merumuskan etika, dikatain lebih lanjut (Erwin, 2011: 83-84) etika merupakan pemikiran mendasar akan ajaran moralbaik lisan maupun tulisan terkait bagaimana manusia hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baikdimana hukum merupakan tatanan etis dari ajaran moral. 

Maka dengan demikian secara etika, baik etika dalam kerangka hukum maupun etika dalam filsafat, keputusan MKMK yang menilai bahwa hakim ketua, Anwar Usman, telah melanggar kode etik hakim MK dirasa sudah tepat bila disandingkan dengan persoalan mengenai kasus etis dari seorang hakim.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun