Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos., dok. seruan sanubari Musik dangdut bukan lagi dianggap sebagai musik kelas 2. Melainkan sudah menjadi industri besar melibatkan banyak kalangan dan kepentingan. Tulisan ini sedikit saja mengulas tentang dangdut koplo dan semua efek kemungkinan yang ditimbulkannya. Hebatnya lagi, penyanyi dangdut yang jarang mengeluarkan album atau single. Bermodalkan mendaur ulang lagu lawas, menyanyikan lagu yang lagi tren atau menyadur lagu India ditambah joged/goyang khas penyanyi dangdut sampai kemudian akhirnya pun dapat sukses. Terkadang orang malah lebih mengenal goyangan daripada lagu (suaranya). Coba sebutkan ada berapa jenis goyang yang anda kenal, mulai dari goyang itik, goyang gergaji, goyang ubur-ubur, goyang ngebor-ngecor, goyang seksi, goyang doleng-doleng, goyang ronggeng, goyang cabe-cabean sampai goyang yang secara terang-terangan menyodorkan (maaf) payudara dan kemaluannya (meski ditutup pakaian baju-bra, celana/rok sesungguhnya adalah telanjang). Buruknya lagi, ada sebagian orangtua malah senang pabila melihat anak-anak kecil atau anak mereka sendiri pandai menirukan goyangan artis dangdut. Keterlaluan dan kurang ajar sekali orangtua tersebut. Apa boleh buat, kita tidak dapat memaksa selera orang untuk sama dengan selera kita. Menyukai apa yang kita suka dan membenci apa yang kita benci. Setiap orang membawa pemahamannya masing-masing. Tidak peduli pada acara-acara semisal hajatan, pernikahan atau syukuran. Panggung semarak skala besar atau program televisi dan kompetisi audisi, dangdut tetaplah dangdut. Penuh cibiran dan erotisme sekaligus hiburan bagi sebagian orang, termasuk anak-anak. Asal jangan, mereka yang memaki, jijik, menghina-dinakan dangdut secara terbuka tetapi diam-diam malah asyik-masyuk menikmati dangdut secara sembunyi-sembunyi. Entah itu dengan menonton tayangan tv secara malu-malu, mengakses YouTube.com atau mengunduh (download) video-video dangdut koplo. Oleh karena musik/goyang dangdut sudah identik dengan cabul-mesum-seronok dan diasumsikan sebagai pornoaksi. Timbul pertanyaan, apa batas ukurannya sehingga dangdut koplo (lagu dangdut mix campuran) ini dapat membuat koplok (bodoh-hilang akal). Sebab, nafsu berahi sudah memenuhi otak. Penelitian menyebutkan, Narkoba merusak 4 sel saraf otak, sementara pornografi-pornoaksi merusak seluruh sel jaringan otak neo cortex (otak kecil-otak besar). Tidak heran Islam sangat keras dalam hal ini, “Jangan dekati zina,” dan sifat malu adalah sebagian dari iman. Apakah penyanyi-penyanyi dangdut yang melenggokkan tubuhnya yang molek (bohai) tersebut punya rasa malu? Apakah kita yang menonton dan “pura-pura” membencinya punya rasa malu? Kalau diperhatikan umumnya syair dan lagu dangdut bercerita tentang perselingkuhan, persenggaman yang tidak selesai dan hubungan tanpa ikatan. Memang demikianlah yang kebanyakan sekarang terjadi, manusia lebih mengedepankan nafsu di atas cinta buta dan kasih sayang yang sebenar-benarnya sayang. Demi tulisan ini, saya akhirnya melihat sendiri bagaimana aksi penyanyi dangdut memacu-memicu-memandu (3 M) hasrat seksual laki-laki (yang ada dalam foto ini menurut saya kurang syur-biasa saja ceweknya). “Oh abang belum lagi liat, awak pernah lihat cewek montok kali, cantik, putih. Nampak “barang itu.” Kurasa abang langsung surotong (istilah jorok anak Medan).” Kata seorang penonton. “Di mana kau tengok?” “Eh abang ke masjid aja mana berani aku ngajak nonton.” Sela seorang penonton yang saya kenal tetapi tidak tau nama. Setiap bertemu hanya menyapa dengan sebutan, ‘Wak Geng’ (sapaan anak gaul Medan). “Ha-ha-ha.” Saya tertawa dan cepat menghindar dari kerumuman. Tugas saya adalah menulis, meliput bukan untuk turut hanyut ikut dan larut dalam “raungan” syahwat. Pejoged yang umumnya laki-laki sudah terbawa suasana dengan sedikit minuman ringan beralkohol yang dijual bebas, musik beralun cepat (house musik-remix), lampu-lampu berkerjap dan asap rokok mengepul di antara sesak penonton yang kebanyakan anak-anak. Jempol, kepala, badan, mata para pejoged bergerak-gerak, berputar kiri-kanan, maju-mundur seakan-akan ia sedang “terbang-fly.” Tidak dapat dibantah: pantat, pinggul, joged/goyang, kostum/make-up seronok, suara, lirikan mata, bibir, rambut, wajah, dan semua yang mengundang syahwat ada pada musik/penyanyi dangdut terutama penyanyi perempuan. Ini bukan soal piktor (pikiran kotor), ini soal stimulasi (rangsangan) yang sengaja dipancing keluar. Tidak peduli ia suka sembahyang di rumah ibadah. Suatu saat pasti akan tergoda dan ingin mencoba sesuatu yang terlarang itu, baik kepada orang lain maupun dengan “mengawini” diri sendiri (onani-masturbasi-merancap). Yang suka kepada musik dangdut akan membela mati-matian apa yang diyakini sebagai benar dan pembenaran. Yang tidak suka kepada musik dangdut akan menghujat mati-matian apa yang diyakini salah dan penyalahan. Jika penulis memakai diksi benar-salah, bukan lantas yang suka kepada dangdut dalam posisi benar, begitu sebaliknya. Artinya, jika engkau tidak dapat menghentikan apa yang tidak engkau sukai, jangan perkuat sesuatu yang tidak engkau sukai tersebut. Nanti ia malah tumbuh besar seperti kata peribahasa tua, “Dibenci-dicari.Dipoyok-dileubok (bahasa Sunda).” Pula begitu halnya dengan dangdut.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H