Dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI, Pengambilan Keputusan atas hasil harmonisasi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) Â Juni 2022 menyepakati bahwa RUU KIA akan dibahas dalam Sidang Paripurna DPR yang akan datang bersama dengan Pemerintah
Jika benar Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) ini bukan hanya sekedar rancangan dan akan disahkan menjadi Undang-Undang, akankah perusahaan merasa dirugikan secara finansial ?
Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang diusulkan pada 17 Desember 2019 atas inisiatif dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah masuk dalam Prolegnas 2020-2024. Setelah disepakati untuk dibahas dalam Sidang Paripurna DPR yang akan datang bersama pemerintah, RUU KIA kini bukan hanya sekedar inisiatif yang dikemukakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun menjadi inisiatif Baleg DPR RI.
Sesuai dengan namanya, RUU KIA ini sebagai upaya mewujudkan sistem penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan, mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, meningkatkan kualitas hidup Ibu dan Anak yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
Puan Maharani Ketua DPR RI dalam Gebyar Inovasi Pelayanan Rakyat untuk Menghindari Stunting di Sekolah Partai PDIP Jakarta, menyampaikan bahwasannya DPR RI sedang memperjuangkan RUU KIA.
Dalam penyampaiannya tersebut, terdapat rancangan bahwa cuti bagi ibu hamil dari maksimal 3 bulan sesuai Undang-Undang yang ada menjadi minimal 6 bulan, sehingga nantinya seorang ibu dan anaknya akan terjalin kedekatan yang lebih dan untuk ibu dapat lebih efektif dalam memberikan ASI eksklusifnya. Hal ini diharapkan menurunkan angka stunting yang terjadi di Indonesia di tahun 2024 mendatang dan mewujudkan sumber daya manusia yang unggul menuju Indonesia emas.
Nampaknya RUU KIA ini melompati aturan yang telah ada yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelahnya. Secara akumulatif durasinya mencapai tiga bulan sehingga perlu adanya tinjauan kembali agar aturan satu sama lain tidak saling tumpang tindih.
Jika dilihat dengan sekilas RUU KIA sangat berprogress untuk kesehatan seorang ibu dan anaknya sehingga itu menjadi dampak positif yang akan dituai.
Namun jika dilihat lebih lanjut, keberpihakan RUU KIA terhadap tenaga kerja perempuan nantinya akan memberikan efek negatif pada perusahaan juga pada tenaga kerja perempuan itu sendiri.
Jika memang benar akan disahkan menjadi Undang-Undang, dampak bagi perusahaan berupa peningkatan biaya variabel dan total produksi, penurunan produktivitas perusahaan dan dampak negatif bagi tenaga kerja perempuan berupa kesempitan ruang gerak karier mereka.
Peningkatan biaya total produksi ini diasumsikan dikarenakan sesuai dengan RUU KIA ini, tenaga kerja perempuan akan tetap mendapatkan gaji sebesar 100% di tiga bulan pertama cuti melahirkan dan sebesar 70% di tiga bulan terakhir cuti melahirkan.