Membawa keluarga di negeri orang dimana semua serba baru dan mungkin tiada sanak saudara harus dipersiapkan dan perlu perencanaan. Saya sendiri termasuk yang pernah “kurang” perencanaan dan sangat “bernafsu” untuk membawa keluarga secepatnya. Sehingga ada beberapa perkiraan yang meleset. Dari pengalaman tersebut, berikut hal hal yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan untuk mengukur visibilitas membawa keluarga untuk menemani kita selama studi di luar negeri terutama di Eropa: 1. Teliti seluk beluk beasiswa, kehidupan, serta biaya hidup. Membawa keluarga tidak terlepas dari factor biaya yang tentu merupakan hal yang krusial. Jika kita memiliki support dari dalam negeri tidak merupakan masalah. Namun jika kita tergantung pada beasiswa, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Yang pertama yakni jumlah beasiswa. Apakah beasiswa meliputi biaya keluarga (tunjangan), ongkos pesawat dll. Untuk beasiswa master yang di Eropa sepengetahuan saya jarang yang mendapatkan tunjangan keluarga. Untuk program PhD dgn funding dari kampus (project based), karena dihitung bekerja, di beberapa negara istri ataupun anak dapat mendapatkan tunjangan yang cukup. Yang kedua, teliti dan pelajari biaya hidup (contoh:klik) untuk keluarga dan bandingkan dengan jumlah beasiswa yang akan diterima. Kadang kita serta merta hanya men “convert” beasiswa dan langsung dibandingkan degan pengeluaran di Indonesia. Menurut saya ini hal yng sangat penting, jangan sampai salah perkiraan. Beberapa komponen yg harus ditanyakan: a. Akomodasi, tergantung dgn lokasi/kota/negara. b. Makanan c. Asuransi, di beberapa Negara asuransi cukup mahal dan dihitung per anggota keluarga/anak2 dihitung (spt di Belanda). Di Belgia, untuk mahasiswa asuransi cukup murah dan dihitung per keluarga (jika istri tdk bekerja). d. Transportasi. Ini cukup mahal di beberapa negara, meski di bbrp negara spt Jerman, Swedia dan Belgia ada tiket reduction bagi student. 2. Part time job? Is it possible? Untuk mendapatkan tambahan salah satunya dengan mencari part time job. Carilah info apakah memungkinkan untuk melakukan hal ini. Yang saya maksud “memungkinkan” disini adalah memungkinkan (a) “in term of time” , karena kesibukan kuliah sering kita tidak punya waktu untuk part time job. (b) “Job availability”di beberapa tempat mendapatkan side job cukup sulit. Waktu “summer” mungkin waktu dimana banyak kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan. Selain side job diluar kampus, kita bisa juga mungkin mendapatkan tambahan dengan menjadi teaching assistant. Cari informasi juga apakah untuk pasangan juga memungkin bisa mencari pekerjaan. Di Belgia, pasangan (spouse) dari student tidak dapat mendapatkan “working permit”. Kecuali spouse nya student juga. Namun kadang bisa juga bekerja secara “illegal”. 3. Can we save? Or spend our saving…..? Tentu selama studi yang kita inginkan adalah penyerapan ilmu. Tapi kadang juga ada keinginan untuk bisa menyisakan sesuatu untuk pulang ke tanah air. Namun kadang dengan membawa keluarga, dengan segala biaya yang ada, hal tersebut mungkin tidak bisa didapatkan. Sering untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari beasiswa sering tidak cukup atau pas pas an. Pengalaman saya di tahun2 pertama saya menghabiskan tabungan di tanah air dan bahkan sempat berhutang di kampus di Belgia untuk hidup. Hal ini juga setahu saya beberapa rekan2 pernah merasakan dimana saving mereka di Indonesia dijadikan modal untuk studi disini meski sudah mendapatkan beasiswa. Terutama di negara/kota dimana mendapatkan part time job tidak mudah, kita biasanya sangat bergantung kepada beasiswa saja. Ada banyak cara untuk mensiasati mahal nya hidup di LN dgn income/allowance yg terbatas seperti yang dibahas di buku: Kiat Sukses Menaklukkan Mahalnya Kehidupan dan Mengapa Bertahan Di Negeri Orang? 4. Persiapan Dokument. Menyiapkan document merupakan step berikutnya yang kadang cukup rumit dan cukup lama mengingat birokrasi di tanah air yang cukup merepotkan. Passport, Marriage certificate, Birth certificate, SKKB (kelakukan baik), Surat invitation (jika diperlukan). Dan semuanya kadang harus diterjemahkan oleh penterjemah tersumpah. Jika semua document tsb telah siap, maka biasanya prosedur untuk pengajian visa akan mudah meski juga cukup lama, sekitar 3 minggu sampai 2 bulan. 5. Apakah ada nilai tambahnya? Membawa keluarga, meski memerlukan biaya, tentunya banyak keuntungannya. Berikut saya gambarkan beberapa keuntungan dari keuntungan2 lainnya yang sangat banyak. Yang pertama, adalah bertambahnya wawasan (budaya baru, dsb) serta network baik bagi kita sendiri maupun bagi pasangan kita. Kita sekeluarga bisa mengunjungi tempat2 eksotis di Eropa, meski hal ini tidak mudah mengingat cost nya. Selain itu untuk bisa menemani pasangan kuliah di LN, merupakan kesempatan yang bagus untuk dapat juga melanjutkan studi/kuliah lagi. Terlebih lagi di beberapa negara eropa, biaya kuliah terjangkau. Jika kita memiliki anak dan dapat ikut kita “stay” beberapa lama di LN, anak2 kita bisa merasakan system pendidikan yang berbeda dengan tanpa biaya alias gratis. Sang anak bisa langsung merasakan berinteraksi dengan rekan yang “asing” sehingga dikemudian hari mereka tidak akan canggung untuk berinteraksi dengan orang dari bangsa lain, dan masih banyak keuntungan lainnya. 6. Menjalankan tiga peranan besar: mahasiswa, sekaligus suami/istri dan bapak/ibu. Berhasil “mendatangkan” keluarga, adalah sebuah “great achievement” yang merupakan permulaan dari tantangan berikutnya yang sangat berat. Yang tak jarang beberapa orang tidak bisa menghadapinya dengan baik. Hal ini salah satunya karena budaya dan situasi yang berbeda dengan di Indonesia. Setiap calon mahasiswa yang berniat membawa keluarga selama studi harus bersiap untuk menjadi tiga peran besar yang harus diemban. Ketiga peran tersebut harus diatur/manage baik dari segi waktu dan juga proporsinya. Yang pertama tentu adalah menjadi mahasiswa, dimana tugas-tugas bertumpuk, pressure dari dosen, ataupun saat menjelang ujian pasti merupakan bagian dari hidup mahasiswa. Bagi mahasiswa yang “single” waktu belajar mungkin bukan hal yang “privilege”. Bagi yang membawa keluarga terutama dengan anak, kita harus pintar2 mencari waktu untuk belajar dan melakukan tugas2 kampus. Peran kedua adalah sebagai seorang suami/istri. Tentu yang diharapkan dari pasangan kita adalah meski kita sibuk dengan tugas kuliah, kita tidak melupakan peranan ini. Mengingat di eropa, semua kegiatan rumah tangga harus dilakukan (kadang dengan terpaksa ) semuanya sendiri. Tanpa ada bantuan dari nanny/pembantu. Memasak, membersihkan rumah, berbelanja, mencuci baju dsb harus bisa kita lakukan dan kita bagi pekerjaan tsb dengan pasangan kita. Bagi yang terbiasa “santai” di Indonesia karena ada pembantu, hal ini merupakan sebuah lompatan yang cukup besar. Yang ketiga, jika kita memiliki anak, adalah peranan sebagai seorang bapak. Tentu anak kita “terpaksa” harus mengerti kesibukan kita sebagai mahasiswa, namun bukan berarti kita harus meninggalkan waktu untuk becengkrama dengan mereka. Pembagian waktu bermain dengan mereka kadang mengharuskan kita menjadi “kelelawar”, bangun di waktu malam. Setelah waktu kerja/kuliah disiang hari setibanya di rumah kita bisa bermain dengan anak2, meski tugas menunggu. Kita baru bisa “bergerak” saat mereka sudah tidur hingga mereka bangun. Tugas2 mengantar anak kesekolah dan kegiatan extra kulikuler, belajar dan bermain dengan mereka adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan meski kadang stress akan kuliah menghinggapi pikiran kita. Itulah beberapa hal yang harus dipersiapkan dan diketahui bagi rekan2 mahasiswa yang sangat berniat membawa keluarganya. Sebuah tantangan yang sangat berharga untuk di taklukkan. Kadang kita ajak keluarga adalah untuk “ditinggalkan” oleh karena kesibukan kita. Man Jadda Wajada, Man Shabara Zafira
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI