Agus Harimurti Yudhoyono dicalonkan sebagai calon gubernur DKI untuk Pigub DKI 2017 oleh Partai Demokrat, PKB, PPP, dan PAN. Â Ooh sobat sekalian. Menurut ogut nih ya, si Agus itu pasti tak akan bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya yang juga Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden kite. Catet: mantan loh ya.
 Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari dalam sebuah kesempatan (namun tidak dalam kesempitan) mengatakan bahwa ada banyak  partai politik seperti kehilangan akal di menit-menit akhir pendaftaran pasangan calon ke KPUD DKI. Ada opo ya? Ooh ternyata sebabnya adalah justru nama-nama yang selama ini 'berseliweran' di berbagai lembaga survei malah pada akhirnya tidak ada yang diusung. Sekali lagi ada opo toh ya?
Mana si Yusril. Mana Bu Risma? Mana uwa Lulung? Mana Ahmad Dhani? Mana si wanita emas? Mana juga si Ridwan? Kemana mereka semua toh ya?
Dalam proses pilkada DKI, memang banyak parpol ini seperti kehilangan akal. Nama-nama yang beredar, diukur eletabitasnya terbatas, dan jauh-jauh hari sudah diprediksi akan kalah. Jadi mungkin saja dalam hati para petinggi partai ini ya mending memunculkan calon yang lain daripada yang lain. Siapa tahu menjadi kuda hitam. Inilah para kandidat dari langit. Mungkin ada yang dari langit ke tujuh sana.
Para suhu turun gunung. Ada Megawati, SBY, dan Prabowo. Tiga dedengkot dalam dunia perpolitikan tanah air.
Pilgub ini sudah seperti peperangan politik atau political warfare //Political warfare's coercive nature leads to weakening or destroying an opponent's political, social, or societal will, and forcing a course of action favorable to a state's interest.
Peperangan politik sesungguhnya adalah penggunaan alat politik untuk memaksa lawan untuk melakukan kehendak seseorang, acap kali berdasarkan niat bermusuhan. Kadang menggunakan berbagai teknik untuk memaksa suatu tindakan tertentu, sehingga mendapatkan keuntungan relatif lebih dibanding lawan. Teknik itu nyata nyata meliputi propaganda dan operasi psikologis. Sifat dari sebuah peperangan politik adalah memaksa peperangan itu untuk diarahkan kepada usaha pelemahan atau penghancurkan lawan politik, pendukungnya, atau para fans garis keras. Ini jelas kadang menimbulkan bahaya.
Tujuan akhir dari peperangan politik adalah untuk mengubah opini lawan dan tindakan dalam mendukung kepentingan tertentu, dan juga untuk mempengaruhi siapapun di luar sana. Konsekuensi akhir dari peperangan ini akan sangat dirasakan oleh masyarakat luas, dan tidak hanya terbatas kubu ke dua belah pihak yang sementara ‘berperang’ itu.
Apakah anda semua bingung membaca ini? Saya sendiri yang menulisnya juga bingung. Jadi mari kita sama-sama membingungkan diri di pilkada Jakarta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H