Seorang pemuda pulang dari Perang Dunia Kedua. Neneknya bertanya tentang pengalamannya di medan perang. Pemuda ini sebetulnya pulang dengan perasaan galau karena melihat banyak penduduk, teman, bahkan musuhnya, yang tewas mengerikan, tetapi dia tidak ingin menyusahkan keluarganya. Jadi dia menjawab, “Oh, kawan-kawan di sana lucu-lucu, Nek. Banyak yang punya cerita-cerita lucu.” “Ceritakan satu, ceritakan satu,” kata keluarganya merengek. Dia menjawab lagi, “Oh, jangan…mereka sering pakai kata-kata tidak sopan.” Tapi keluarganya tetap saja penasaran sehingga akhirnya salah satunya mengusulkan agar setiap kali menemukan kata-kata tidak sopan, tentara muda ini menggantinya dengan “blank”. Dia setuju kemudian menceritakan sebuah cerita lucu: “Blank blank blank blankity blank. Blank blank blank blank, blankity blanking blank blank. Blanking blankity blanking blank, blank blank blank blank fuck.”
Cerita di atas ingin menyatakan bahwa ada banyak kata sumpah serapah yang lebih kasar dari “fuck”. Selain itu, bahwa menurut beberapa sejarawan, orang-orang mulai banyak mengeluarkan sumpah serapah sejak Perang Dunia Pertama dan Kedua terjadi. Kengerian kedua perang ini—ancaman kematian lewat gas racun, senapan mesin, ranjau darat, dan pemboman—membuat orang merasakan kemarahan sekaligus ketakberdayaan yang akhirnya dilampiaskan ke dalam sumpah serapah. Setelah perang, para tentara kemudian membawa sumpah serapah ini ke rumahnya masing-masing dan belakangan kemudian dicetak, disiarkan radio dan televisi.
Sumber: Melissa Mohr, “Holy shit : a brief history of swearing”, Oxford University Press, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H