Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahmad Dani: Orang Mungkin Bisa Menilai Saya Sebagai Penganut Tasawuf”

19 April 2015   09:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kamis, 2 Oktober 2003, Ahmad Dani (Dewa, Juri X Factor Indonesia) diwawancarai oleh Nong Darol Mahmada (JIL) di Radio KBR 68H tentang pengalaman keberagamaannya. Wawancara ini dimasukkan ke dalam buku “Pergulatan Iman” (editor Nong Darol Mahmada, Nalar 2008). Beberapa kutipannya sebagai berikut:

Anda belajar islam pertama kali dari mana?

Sejak kecil, saya sudah tidak asing lagi dengan pelajaran seperti tarikh, fikih, ataupun bahasa Arab, meski tidak terlalu mendalami. Sampai sekarang saya masih membaca wacana-wacana tentang keislaman.

Pernah tidak anda punya pengalaman luar biasa dalam hal keagamaan?

Menurut saya, pengalaman yang paling wah adalah saat berjumpa dengan guru spiritual saya. Dia seorang habib yang tidak mau disebut namanya. Dia tidak ingin memublikasikan dirinya. Dia memang tidak untuk dikenal.

Bagaimana anda memahami Islam? Apakah hanya sekadar ritual misalnya, atau ada sesuatu yang lain?

Saya lebih memahami islam  sebagai way of life. Saya sangat yakin bahwa hablun min Allah itu bersifat sangat pribadi dan tidak perlu ditunjukkan, dan tidak perlu atribut-atribut. Menurut saya, agama tidak membutuhkan atribut, sebab agama adalah sesuatu yang sangat pribadi. Yang justru harus ditunjukkan adalah hablun min nas. Jadi lebih pada bagaimana kita menunjukkan Islam sebagai etika; cara berdagang dan cara berkawan, misalnya. Itu yang harus kita syiarkan.

Sejauh mana wawasan keislaman mempengaruhi pekerjaan anda sebagai musisi?

Saya menjadi kreatif dalam membuat lirik. Saya bahkan banyak belajar soal lirik dari syair-syair para penyair Islam seperti Jalaluddin Rumi misalnya. Itu yang membuat saya lebih kreatif. Merekalah yang sedikit banyak telah mempengaruhi proses kreativitas saya.

Apakah tokoh favorit anda seperti Jalaluddin Rumi yang anda sebutkan tadi ikut mempengaruhi sikap keberagamaan anda?

Jelas. Orang mungkin bisa menilai saya sebagai penganut tasawuf. Menurut saya, tasawuf adalah inti ajaran Islam, yang diwariskan secara turun-temurun oleh keturunan dari Nabi Muhammad, mulai dari Ali bin Abi Thalib, Zaenal Abidin bin Abi Thalib, hingga Syeh Abdul Qadir Jaelani.

Perwujudan ketasawufan pada diri anda muncul dalam bentuk apa?

Sampai saat ini, terpancar dari cara saya mencari nafkah. Orang Islam harus pintar, berwawasan luas, dan mesti berusaha untuk kaya.

Mas Dhani, syair yang Anda tulis banyak mengulas tentang cinta, dan tema cinta tentu bersifat universal. Nah, pergulatan iman anda berada pada jalur tasawuf. Bagaimana anda menjelaskannya?

Saya ini masih muda. Baru 31 tahun. Tidak ada keharusan buat seorang berusia 31 tahun untuk menjadi seorang da’i. Bagi saya, ada umur tertentu di mana manusia lebih mendekatkan diri pada Allah. Jadi umur-umur 20-30 tahun, lagu saya memang sangat dekat dengan dunia. Banyak membahas soal cinta dan dunia materi.  Menurut saya itu wajar saja. Apa sih yang bisa diharapkan dari anak berumur 20-30 tahun tentang keimanan?

Anda selama ini berkecimpung di dunia entertainment yang bagi sementara kalangan sangat jauh dari agama, bahkan kadang diharamkan. Bagaimana Anda menyikapi ini?

Saya cuma merasa perlu mendengar apa kata guru saya. Saya tidak mendengar fatwa MUI, ataupun ulama lainnya. Saya punya guru. Dalam doktrin tasawuf, kepatuhan murid terhadap guru seperti kepatuhan manusia kepada Allah. Jadi, sepanjang apa yang kata guru saya haram, ya haram. Jika halal, ya halal.

Anda termasuk murid yang tidak kritis dong?

Memang, jadi kalau saya disuruh guru saya mati, ya mati.

Anda sangat taat pada guru Anda. Mengapa Anda tidak belajar Islam langsung dari AlQuran Hadits. Bukankah sekarang fasilitas untuk belajar makin tersedia?

Saya tidak punya ilmu yang mumpuni untuk bisa menafsirkan AlQur’an, misalnya. Saya selalu berdebat dengan siapa saja, bahkan saya mendebat ayah saya. Menurut saya kesalahan awal orang Islam lebih karena mereka tidak mempunyai guru. Akibatnya, mereka membaca AlQur’an dengan potensi intelektual mereka yang nota bene terbatas. Kita mencoba memahami AlQur’an dengan terjemahan bahasa Indonesia yang nota bene tidak cukup mumpuni untuk menjelaskan maksudnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun