Pada mulanya, muazzin, juru siar waktu shalat, dipilih berdasarkan kebaikan akhlak dan kekuatan suaranya agar bisa memanggil orang beriman dari atas menara. Seiring waktu, persyaratan ini lalu ditambah dengan pengetahuan mengenai langit. “Hanya pria terhormat, terpercaya, dan tahu betul mengenai waktu shalat yang bisa menyerukan panggilan azan dari atas menara… Muazzin harus tahu (dua puluh delapan) kedudukan bulan dan bentuk gugusan bintang di dalamnya, sehingga ia bisa mengenali waktu malam,” ujar seorang komentator Mesir, Ibnu Al-Ukhuwwa.
Paragraf di atas dikutip dari buku seorang jurnalis Reuters yang selama lebih dua puluh tahun banyak berada di negara-negara muslim, Jonathan Lyons “The Great Bait Al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam Peradaban Barat ” [penerjemah Maufur, Mizan 2013]. Lyons mengutip dari buku yang lebih spesifik lagi bicara tentang sains dan teknologi waktu dalam Islam: “In Synchrony with the Heavens: Studies in Astronomical Timekeeping and Instrumentation in Medieval Islamic Civilization” oleh David A. King [Brill, 2004].
Yang menarik bagi saya adalah begitu tingginya standar yang diterapkan oleh masyarakat Islam untuk sebuah tugas yang disebut “muazzin”. Sebuah standar yang menunjukkan bagaimana cintanya kaum muslimin pada Ilmu Pengetahuan. Bahwa hanya untuk mengumandangkan azan saja, seseorang harus menguasai perubahan bentuk dan posisi bulan selama 28 hari plus konstelasi bintang-bintangnya. Sayang seribu sayang, Ibnu Al-Ukhuwwa itu menceritakan muazzin di masyarakat muslim Mesir lebih dari 1000 tahun yang lalu. Masyarakat muslim sekarang???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H