Dalam kasus prosekusi terhadap Rohingya, satu nama yang sangat terkenal, disebut sebagai Wajah Teror Buddhis oleh Majalah TIME, adalah Ashin Wirathu, seorang bikhu yang mengatakan bahwa darah Obama dikotori oleh darah hitam Islam, bahwa Arab sudah menguasai PBB, bahwa 90% muslim di Myanmar adalah penjahat radikal. Karena menulis laporan ini TIME edisi ini (Juli 2013) dilarang beredar di Srilanka, negara mayoritas Buddha lainnya.
Tetapi yang paling menyesakkan mungkin sikap diam Aung San Suu Kyi akan apa yang terjadi di negaranya saat ini. Suu Kyi adalah pemenang Nobel Perdamaian 1991 dengan pertimbangan "for her non-violent struggle for democracy and human rights". Suu Kyi dalam laporan The Huffington Post dikutip pernah menulis bahwa:
“Kata-kata membuat kita mampu mengekspresikan perasaan, merekam pengalaman, mengkonkritkan ide kita, mendorong ke luar batas-batas eksplorasi intelektual. Kata-kata dapat menggerakkan hati, kata-kata dapat mengubah persepsi, kata-kata dapat membuat bangsa dan manusia bergerak penuh kekuatan. Kata-kata adalah bagian esensial dari kemanusiaan kita. Menghalangi dan menghambat kebebasan berbicara adalah memincangkan hak dasar kita untuk mewujudkan potensi penuh kita sebagai manusia.”
Pemerintah Myanmar memang menolak menyebut “Rohingya” dan menggunakan “Bengali”. Sebuah pilihan kata yang menjustifikasi tidak diberikannya status kewarganegaraan dan ditutupnya akses terhadap kebutuhan dasar bagi kelompok ini.
Lantas mengapa Suu Kyi juga tidak pernah menyebut Rohingya? Dalam laporan Huffington Post disebut bahwa dalam perbincangan pribadi dengan seorang analis politik yang mengenalnya dekat, Suu Kyi mengaku diam bukan karena perhitungan politik, tetapi , “Saya diam karena, di sisi siapapun saya berdiri, akan lebih banyak darah tertumpah. Bila saya bicara tentang hak manusia, mereka (Rohingya) akan semakin menderita. Akan semakin banyak darah tumpah.”
Tetapi dalam laporan The Guardian, seorang sumber dari dalam partai Suu Kyi yang tidak ingin disebut namanya menyebutkan Suu Kyi sangat marah atas apa yang terjadi. Tapi dia juga menyadari hukuman yang akan diterimanya bila terlihat membela muslim dan Suu Kyi percaya bahwa dia harus berada di pemeritahan untuk menyelesaikan masalah ini.
Sulit dibayangkan bagaimana seorang pemenang Nobel Perdamaian dapat berbicara dengan rasa takut seperti ini dan memilih diam ketika sebuah etnis secara sistematis ditindas di negaranya sendiri, demi menyelamatkan diri sendiri dari “hukuman politik”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H