Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

5 Hal dalam Cuitnya Membuat Ade Armando Tidak Perlu dianggap Menistakan Agama

27 Mei 2015   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pusing pala barbie membaca hujatan dan pembelaan terhadap Ade Armando, seorang master dari Florida University Amerika Serikat dan doktor dari Universitas Indonesia, saya kemudian meminjam kacamata Anthony Weston, penulis buku A Rulebook for Arguments (Hacket Publishing, 2009). Bahwa buku ini sudah memasuki edisi ke empat (2009), merupakan indikasi penulis berusaha memperbaiki bukunya di sana-sini—sesuatu yang sangat baik tentunya. Selain itu, kacamata yang ditawarkan Weston untuk menganalisa sebuah argumen (dan kesimpulan) pun sederhana, bukan sejenis mikroskop elektron tapi juga bukan kaca mata kuda. Dari peminjaman kacamata Weston inilah pusing pala barbie tadi hilang dan saya kemudian menyimpulkan bahwa Ade Armando sebaiknya tidak dibawa ke pengadilan atas tuduhan penistaan agama.

"Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues ..."

1. Tegaskan mana premis mana kesimpulan. Kacamata ini meminta tiap orang memeriksa apa yang ingin dia buktikan dan apa kesimpulan yang diambil. Kesimpulan adalah pernyataan yang didukung oleh nalar, dan nalar ini lazimnya disebut premis. Setelah memisahkan mana nalar mana kesimpulan, selanjutnya diperiksalah apakah kesimpulan yang diambil cocok dengan nalar yang digunakan?

Pernyataan Ade Armando di atas dapat kita bilah sebagai berikut: “Allah bukan orang Arab” adalah premis, sedang “Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues” adalah kesimpulan. Pertanyaannya adalah dengan mengatakan saya bukan orang Batak dapat ditarik kesimpulan bahwa saya senang Soto Makasar, Rendang Padang, Gudeg Jogja? Apakah misalnya, dengan mengatakan saya bukan WNI dapat disimpulkan bahwa saya senang tinggal di Alaska, di Siberia, di Sahara?Kita dapat menambah 1000 contoh lain yang paralel, dan semua jawabannya adalah “Tidak bisa!”Jadi, tidak ada relevansi antara premis yang dipakai tentang “Tuhan” dengan kesimpulan yang diambil tentang apa yang disenangi “Tuhan”.

2. Kembangkan ide anda dalam urutan yang alamiah. Kacamata ini meminta kita memeriksa apakah nalar dan kesimpulan sudah naik pentas dalam urutan yang smooth, enak dipahami. Bisa saja seseorang memajukan kesimpulannya terlebih dahulu baru menyajikan nalar, atau sebaliknya, tetapi yang pasti penulis-penulis keren itu (bukan hanya filsuf dan ilmuwan, tetapi juga penulis fiksi) selalu bisa mengungkapkan kedua hal ini secara halus tanpa meloncat-loncat. Mereka akan dengan sabar menggunakan kalimat-kalimat “tangga” yang logis dan sistematis yang mengantarkan pembacanya sampai pada kesimpulan yang diambilnya. Bisa jadi mereka menikung atau menanjak, tetapi arah dan iramanya tetap terjaga ada. Dalam kasus pernyataan Ade Armando, tidak ada tangga-tangga logis dan sistematis tersebut. Bayangkan menyimpulkan ras Tuhan dan apa yang disenanginya hanya dalam dua kalimat.

3. Mulai dari premis yang bisa diandalkan. Kacamata ini mulai lebih tajam memeriksa dasar paling fundamental dari nalar yang kita gunakan. Sesudah kita memeriksa dan yakin betul bahwa premis itu benar dan bisa diandalkan, barulah dipakai. “Tuhan ‘kan bukan orang Arab” adalah sebuah premis yang sangat spesifik (partikular), yang bisa direspon dengan pertanyaan “Kalau bukan orang Arab, trus orang mana?” Pertanyaan yang sama bisa diajukan untuk premis lain yang persis sama, “Guardiola ‘kan bukan orang Sunda, jadi Guardiola orang apa?” Pertanyaan-pertanyaan partikular seperti ini tidak dapat dihindari kalau yang diajukan adalah premis yang partikular, dan dalam kasus Guardiola ini pertanyaan enteng. Kalau anda mengatakan “Tuhan bukan orang Arab”, maka anda harus menjawab pertanyaan apakah Tuhan itu Cina, Yahudi, Afrika, Indian, Inca, dan seterusnya, untuk memeriksa apakah premis anda tentang “bukan Arab” itu bisa diandalkan atau tidak. Persoalan selanjutnya dari situasi seperti ini adalah ketika seseorang yang memulai pernyataan dengan negasi tidak pernah dapat menyebutkan apa yang sebetulnya dia afirmasi.

Tulisan ini tidak ingin berubah menjadi analisa teologis, tetapi dalam teologi Islam premis yang digunakan tentang Tuhan lebih mudah dan simpel, “Tuhan bukan makhluk, jadi Tuhan itu khalik.” “Tuhan bukan apa saja yang melintas di pikiranmu”, kata para teolog Islam (mutakallimun), jadi jangan mengarang-ngarang tentang siapa Tuhan. Mengubah premis “Tuhan bukan orang Arab” menjadi premis yang lebih generik, yang lebih pas untuk “Tuhan”, adalah satu-satunya cara Ade Armando menghindari pertanyaan apakah Tuhan Cina, Aria, Asmat, dan sebagainya.

4. Bicaralah yg konkrit dan padat. Kacamata ini meminta kita menggunakan kata-kata yang konkrit bukan samar atau malah menyesatkan. Pernyataan-pernyataannya sebaiknya padat dan elaborasi yang berlebihan justru membuat orang lain akan kehilangan arah. Untuk melihat problem yang mendasar terkait penggunakan kata, pernyataan “Tuhan bukan orang Arab”, dapat kita bagi tulis ulang menjadi dua bagian, “Tuhan itu orang, tapi bukan orang Arab”. Dalam bentuk ini, pernyataan ateistik “Tuhan itu tidak ada” jelas jauh lebih konkrit dari pada “Tuhan itu orang”. Tentang kepadatan argumen, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, jangankan terlalu dielaborasi, dikembangkan pun tidak.

5. Kembangkan dari substansi, jangan lebay bermain kata-kata. Kacamata ini meminta kita menggunakan bukti untuk mendukung pernyataan dan kesimpulan, bukan menggunakan retorika permainan kata-kata. Argumen yang substantif artinya selalu menunjukkan bukti-bukti. Dalam kesimpulan “Tentu Allah senang kalau ayat-ayatNya dibaca dg gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues…”, selain tidak ada hubungannya dengan premis “Allah bukan orang Arab” seperti diuraikan di atas, Ade Armando sama sekali tidak menunjukkan bukti apapun yang menunjukkan bahwa Allah itu senang dengan gaya Minang, Ambon, dan seterusnya, atau bagaimana implikasi kesenangan Allah itu.

Dari meminjam lima kacamata Weston di atas saya kemudian berkesimpulan bahwa cuit Ade Armando diatas tidak perlu disebut Penistaan Agama, lebih tepat dianggap Penistaan Logika. Penistaan Logika tidak perlu dituntut ke pengadilan, setidak-tidaknya begitulah yang saya pahami, karena menghabiskan waktu dan biaya, itupun belum tentu efektif. Tetapi begitupun, Penistaan Logika menurut saya seringkali lebih berbahaya, lebih hazardous, daripada Penistaan Agama. Penistaan Agama itu adalah menistakan sesuatu yang transenden, yang tidak bisa diklaim oleh siapapun sebagai miliknya, penistaan agama itu sering lebih sering mengganggu emosi, dari pada agama yang sebenarnya. Sementara Penistaan Logika itu menistakan sesuatu yang dimiliki setiap orang yang senang berpikir dan ingin menjadi lebih cerdas setiap hari. Penistaan Logika itu adalah menyampaikan atau melakukan sesuatu yang membuat anda dan saya, atau siapapun yang menjadi obyeknya, semakin bodoh, semakin ngawur dalam memahami sesuatu, semakin menggunakan prasangka dalam mengambil keputusan—dengan cara menabrak Logika dan Berpikir Kritis. Penistaan Logika ini, sayangnya, didorong untuk muncul terus-menerus semakin banyak setiap hari di sosial media karena mereka dipuji-puji, dijempoli, dan disebarkan, atau dibalas dengan Penistaan Logika yang lain yang kemudian dipuji, dijempoli, disebarkan lagi. Padahal Penistaan Logika harus dijawab dengan Penghormatan Logika, logic at its best,  sebagaimana Penistaan Agama harus dijawab dengan Sikap Terhormat seorang yang beragama, the best practices of religion.

Ade Armando punya kebebasan menyatakan pendapat, apalagi dia seorang doktor, sementara ke-dungu*-an yang tulus bukanlah kejahatan. Ini sudah cukup jadi alasan untuk menganggap cuitnya, sebagaimana jutaan cuit atau status FB lain yang setiap hari ditulis orang di seluruh dunia, sebagai permainan dunia maya belaka.


*kata-kata “dungu” saya ambil dari status-status yang ditulis Ade Armando tentang orang lain di FB-nya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun