[caption id="attachment_188817" align="aligncenter" width="300" caption="sumber : agusurachman.wordpress.com"][/caption] Membaca beberapa artikel tentang perceraian dari sahabat kompasiana , ingatan saya langsung membawa ke masa lalu... Sudah 5 tahun kami berkeluarga, dan selama itu kami sangat amat rukun.. tidak ada masalah yang berarti antara saya dan istri, rahasianya adalah saling mengalah, pengertian , kejujuran dan komitment. Tidak ada manusia yang sempurna, kami berdua sama-sama belajar dan memperbaiki diri.. , saling komitment untuk menjadi lebih baik.., serta saling mengingatkan. Sejak awal saya memberitahu istri bahwa apapun masalahnya selama berkeluarga.. kita akan selesaikan tanpa melibatkan emosi, jika  sedang emosi, marah... lebih baik jangan dibahas dulu permasalahannya.. setelah semuanya tenang baru kami berdua bicara dari hati ke hati, mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Kemudian keluarga kami diguncang prahara cobaan dengan sakitnya almarhum istri saya, saat cobaan itu datang , keadaan rumah seperti neraka ,ancaman , ketakutan,  rasa dipermalukan, harga diri jatuh , tangisan , darah.. tuntutan keluarga dekat yang mencampuri rumah tangga.. hampir membuat kapal rumah tangga kami tenggelam.. Cobaan itulah yang membuat saya juga "sakit"...,2-4  bulan awal istri saya sakit... emosi saya masih bisa saya kontrol.., sekitar bulan ke 5 emosi saya ikut bermain..,dan puncaknya pernah 1 minggu penuh rumah seperti neraka.. teriakan, bentakan  , tangisan dari anak-anak.. , orang tua pun kerepotan mendengar tingkah laku istri saya.. sehingga membuat saya ingin berpisah.. hmm.. sekitar 2-3 hari setelah mengalami "peperangan panjang" dalam rumah tangga.. , akhirnya saya menyadari.., kalau diri saya juga "sakit" dan sakitnya saya adalah "emosi".., saat itu saya berpendapat.. kalau saya emosi dan istri emosi.. hal itu tidak akan menyelesaikan masalah... hingga saya bertekad untuk menyembuhkan diri saya terlebih dulu.. saya yang menjadi "pemimpin" dalam rumah tangga.., kalau pemimpinnya sakit/lemah maka akan mudah sekali dihancurkan.., keputusan yang diambil hanya emosi sesaat dan hal itu yang berbahaya.. Akhirnya saya meminta bantuan ke bapak ibu mertua agar istri saya sementara waktu di bandung.., dan sayapun mengantar istri ke bandung.. , saat di bandung dan kondisi istri tenang.. saya bicara ke istri supaya tinggal di bandung selama 1 minggu.. sebab biar anak-anak lebih tenang.... dan istripun setuju.. Selama 1 minggu itulah.., saya perbanyak DOA.., mendekatkan diri ke Tuhan Yang Maha Kuasa sekaligus melakukan review atas tingkah laku saya.., semakin lama.. saya pun semakin tenang dan akhirnya bisa melihat permasalahan yang terjadi dengan jernih.. Ingatan saya langsung teringat..komitment dan janji suci saat saya dan istri melangsungkan pernikahan.., dan saat inilah komitment kami diuji... Kemudian saya mereview komitment yang dibuat saat kami melangsungkan pernikahan.., semakin saya merenung, memikirkan .. saya semakin yakin bahwa kami masih ada dalam jalur yang benar... , dan kejadian yang menimpa keluarga kami ini hanyalah cobaan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.. Istri saya masih tetap memegang komitment.., tidak pernah dilanggar suatu apapun..,walaupun tingkah lakunya saat sakit membuat saya dan keluarga kelabakan.. hal itu karena istri saya sedang sakit.. , istri saya sedang "sekarat" dan butuh cinta saya.., butuh dukungan saya sebagai orang yang dia cintai.., Istri saya sedang mengalami masalah yang sangat berat.., dan saya harus mendampinginya apa yang dia lakukan bukan karena sifatnya.. tetapi karena sakitnya itu.. dan disana sumber permasalahannya.. Setelah mengalami "pencerahan" saya pun menjemput istri saya dan sejak saat itulah di hati saya komitment.."Apapun yang terjadi.. saya tidak akan berpisah/cerai dengan istri, sampai maut yang memisahkan".. Ketakutan-ketakutan yang dibicarakan oleh orang-orang sekitar ( cerita kejadian pembunuhan 3 anak oleh seorang ibu, bunuh diri di mall,dll)  tidak membuat saya berubah pikiran, tetap saya jalankan komitment saya dengan istri.. dan saya yakin anak-anak saya akan selamat, sebab saya dan istri masih ada di "rel" komitment janji suci pernikahan kami. Tawaran untuk menikah lagi dari tetangga sekitar rumah,dll.. tidak saya gubris.. sampai tetangga2 di sekitar menyebut saya "tidak waras" karena masih mau mempertahankan rumah tangga dengan kondisi istri seperti itu. Setiap emosi yang timbul.., menghadapi tingkah laku istri saya yang sakit..,  saya membawa ke spiritual.. dengan melakukan meditasi dan kemudian DOA.. , disaat doa itulah timbul rasa tenang serta membawa semangat yang baru.. [caption id="attachment_188820" align="aligncenter" width="300" caption="Source: Psychology Today"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H