Mohon tunggu...
Sesilia Annabel
Sesilia Annabel Mohon Tunggu... Lainnya - A student

A psychology student at Airlangga University in Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebaya, Apakah Resisten Terhadap Perkembangan Zaman?

27 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 8 Januari 2025   18:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Anak Muda Berkebaya (Sumber: Dokumen Pribadi)

Halo sobat muda!
Tahukah kamu bahwa Indonesia merupakan negara yang plural dan kaya akan budaya. Indonesia memiliki lebih dari 7000 budaya yang ada dalam setiap bagian daerahnya. Di antara ribuan budaya tersebut, salah satu budaya yang secara visual menjadi identitas nasional adalah kebaya

Kebaya merupakan pakaian adat Indonesia yang acap kali digunakan saat momen wisuda, pernikahan, dan acara resmi yang bersifat kenegaraan.Pada Peringatan Hari Kebaya Nasional tahun 2024, pemerintah sepakat untuk mengajukan kebaya untuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda kepada UNESCO. Maka dari itu, kebaya memiliki peran sebagai suatu bentuk komunikasi yang merepresentasikan identitas Indonesia di mata dunia.

Namun, eksistensi kebaya mulai menemukan ancaman identitas akibat adanya korean wave atau biasa kita sebut dengan hallyu. Soft power dari Korea Selatan sendiri memberikan begitu banyak dampak bagi berbagai macam industri dan budaya di Indonesia, salah satunya yang terdampak adalah kebaya. Soft power Korea Selatan yang masuk lewat industri hiburan seperti; series (atau yang lebih dikenal dengan “drakor), musik, acara tv, konten sosial media seperti vlog, menjadi salah satu faktornya. Hal ini juga merupakan pengaruh dari dunia yang semakin borderless  sehingga segala sesuatu yang berasal dari luar dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat kita terlebih kaum muda.

Bukan saja faktor eksternal, akan tetapi industrialisasi dan modernisasi yang terjadi di Indonesia sendiri juga menjadi salah satu penyebab dalam marginalisasi kebaya. Kebaya seringkali dianggap sebagai sebuah cara berpakaian yang kuno, tidak praktis, dan ketinggalan zaman. Persepsi ini kembali dikuatkan dengan masuknya budaya Korea kepada kaum remaja hingga dewasa di Indonesia yang menunjukkan gaya berpakaian kasual, kontemporer, soft, dan simple. Korean style ini mulai merambah identitas kebaya hingga muncullah “Kebaya Korean Style” yang bisa ditemukan di beberapa platform e-commerce di Indonesia.

Lantas, apakah ini berarti Kebaya harus menyerah kepada perkembangan zaman?

Tentu saja tidak!
Dampak dari adanya Korean Wave tentu menciptakan perspektif-perspektif baru bagi kaum muda. Masyarakat utamanya kaum muda mulai menganggap bahwasanya budaya Korea lebih unik, menarik, fleksibel, dan atraktif dibandingkan kebaya yang terkesan kuno. Hal ini tentu menyebabkan adanya ketimpangan hierarki dimana budaya Korea dianggap lebih dominan dibandingkan budaya sendiri. Namun, buka berarti hal ini sepenuhnya tidak dapat diatasi. Menanggapi fenomena tersebut, komunitas kebaya mengajukan adanya negosiasi dan konsep hibriditas dengan memadukan unsur unsur kebaya tradisional dan unsur modern serta kontemporer. Dengan solusi ini, komunitas kebaya dapat mengambil sedikit unsur dari budaya Korea dan mengkombinasikannya dengan unsur lokal. 

Kolaborasi dengan desainer lokal juga dilakukan untuk membuat kebaya dengan variasi motif, warna, dan desain yang lebih timeless. Selain itu, adanya konsep hibriditas ini menciptakan tren berpakaian yang baru, dimana kebaya biasanya dipadu-padankan dengan bawahan batik atau jarik, namun sekarang dapat dikombinasikan dengan loose jeans, rok plisket, rok tutu, dan variasi bawahan lainnya yang membuatnya terlihat lebih casual dan kekinian. Meskipun hal ini termasuk dalam menciptakan identitas baru yang dapat melampaui batas-batas asli, namun solusi ini dianggap menjadi salah satu langkah yang baik untuk kembali mempromosikan kebaya kepada kaum muda dan di sisi lain, tetap mempertahankan warisan budaya yang ada. 

Penyelesaian ini tentu sejalan dengan adanya konsep resistensi, dimana komunitas kebaya tidak menolak penuh dan acuh terhadap adanya budaya asing yang masuk melainkan melakukan negosiasi dan hibriditas yang memberikan efek dinamis dan kontekstual. Oleh sebab itu, dapat kita simpulkan bahwasanya kebaya sebenarnya memiliki sifat resisten, yakni dapat berkembang sesuai dengan perkembangan mode terkini. Akan tetapi, dengan catatan tetap memegang “pakem” yang ada apabila kebaya tersebut digunakan untuk upacara yang sifatnya sakral seperti pernikahan dan acara adat.

Adapun, kita juga dapat belajar dari fenomena Korean Wave dengan memaksimalkan promosi kebaya lewat industri hiburan, menormalisasikan penggunaan kebaya untuk busana sehari-hari sesuai dengan kebutuhan. Karena seperti yang kita sadari, impact  dari industri hiburan tentu begitu besar bagi budaya dan gaya berpakaian masyarakat. Harapannya, industri hiburan lokal dapat belajar dari fenomena Korean Wave dan dapat menggunakan kebaya dalam proses produksinya, sehingga dapat memicu munculnya tren-tren lokal yang bangga berkebaya.

Muda Indonesia, Bangga Berkebaya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun