Mohon tunggu...
Maysaroh Syafaatin
Maysaroh Syafaatin Mohon Tunggu... -

"Kemenangan Islam dibangun diatas tinta para ulama dan darah para syuhada"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siluet Kehampaan

4 Juli 2014   17:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini sinar rembulan terpantul indah di balik kaca bening jendela kamarku. Angin berdesir lembut menggoyangkan dedaunan kering di sudut halaman rumahku. Setahun sudah berlalu, tanpa terasa aku telah tenggelam ke dalam kegelapan diriku sendiri. Tergugu dan terpaku akan kenangan masa lalu yang mengancam membunuhku saat aku mencoba bangkit dari keterpurukanku.
Senja hari ini masih setia mengunjungi ruang kosong kamar jiwaku. Bersama malam ia masih membujuk dengan penuh harap agar aku bersedia melepaskan belenggu yang berborgol tubuhku. Tapi aku masih tak bergeming. Bagiku, sekarang adalah yang ternyaman yang pernah aku rasakan.
Aku menutup mataku erat-erat dengan kedua telapak tanganku, tatkala kilasan-kilasan bayangan itu kembali muncul dari dalam memori-memoriku yang belum sempat terhapus. Teringat pada suatu sore, malam menghampiriku.
"Jingga, bisakah kita bicara sebentar?", ujarnya tanpa basa-basi menyapaku lebih dulu.
"Ya, silahkan. Mau bicara apa?", jawabku polos tanpa mengerti maksud dibalik pertanyaan malam.
"Emm,, begini jingga, aku sedang dalam dilema besar, dapatkah kamu menolongku?" ujarnya lagi.
"Akan kucoba sebisaku", jawabku.
"Aku mencintai seseorang", ujarnya kemudian dengan wajah begitu murung.
"Ohh, itu bagus bukan?", jawabku seketika. Karena bukankah bagus jika malam mencintai senja?, begitu fikirku kala itu.
"Tidak jingga, itu tidak bagus. Aku mencintai seseorang yang dingin dan cuek. Aku jatuh cinta padanya dari pertama kali kami berjumpa", ujarnya lagi dengan nada suara yang semakin sedih.
"Lantas, apa yang menjadi masalahmu?" tanyaku akhirnya.
"Karena aku tengah bersama dengan seseorang yang tidak benar-benar aku cintai. Karena aku mencintaimu jingga. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu dari pertama kali kita berjumpa di pinggir pantai sore itu." jawabnya bertubi-tubi.
Aku terpaku.
Seolah petir menyambar-nyambar dengan riuhnya di dalam kepalaku. Aku shock. Ini tidak mungkin. Apa tadi? Dia bilang mencintaiku?? Tidak salah? Lantas mengapa baru sekarang ia katakan? Kemana saja waktu aku tertatih-tatih mencari senja yang tiba-tiba menghilang? Bukankah mereka saat itu tengah bersama? Lelucon apa ini??
Aaaarrrgggghhh... tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit, pandanganku kabur dan sejak hari itu aku tak ingat apa-apa selain jantungku yang terasa nyeri sekali seolah ribuan jarum-jarum kecil berdesakan menusuk-nusuk setiap celah pembuluh darahku.
Haahhh..
Aku menghela nafas berat. Kutepiskan kenangan-kenangan itu dari fikiranku. Sudahlah, itu semua telah berlalu, batinku menenangkan gemuruh jantungku yang tiba-tiba kembali terasa sedikit nyeri.
Beberapa hari kemudian, malam datang menghampiriku dengan wajah ceria dan tersenyum sumringah.
"Jingga, kau tahu? aku tengah bahagia" ujarnya seperti biasa tanpa basa-basi menyapaku terlebih dahulu.
"Oh ya? syukurlah", ujarku kalem.
"Heei, jangan dingin begitu jingga, aku tak akan mengulangi kesalahanku kemarin kok, untuk hari ini aku hanya akan berbagi kebahagiaan denganmu" ujarnya dengan penuh keyakinan.
"Oh, begitu", jawabku lagi tak kalah dingin dari sebelumnya. Haha, kesalahan katamu? Oh, jadi yang kemarin hanya sebuah kesalahan? Haha, ini sungguh konyol. Tidak lucu sama sekali malam. Leluconmu sungguh tidak lucu sama sekali. Batinku perih. Entah mengapa ada yang mulai menggenang di sudut mataku. Gemuruh dalam dadaku entah sudah berapa kali terasa mencabik-cabik hatiku. Ohh, aku merasa sedang hancur.
"Heii, jingga" panggil malam sambil mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajahku.
"Aah iya" ucapku tersadar dari lamunanku.
"Kamu baik-baik saja jingga? Kamu menangis? Kenapa? Ada apa?" tanyanya beruntun dengan raut muka khawatir.
"Aku baik-baik saja. Angin sore ini sedikit berdebu, sehingga mataku sedikit perih" ujarku berbohong sambil memaksakan sedikit senyum.
"Oh ya, katanya kau sedang bahagia. Katanya kau ingin berbagi denganku", tambahku dengan tak memudarkan senyum terpaksaku.
"Oh tentu jingga, kau harus tahu hal ini. Aku dan senja akan menikah. Segera setelah purnama penuh bulan ini", ujarnya dengan wajah sumringah.
"Oh begitu, syukurlah" ujarku lemah. Bulir-bulir air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mataku kini berguguran dengan indahnya.
"Aku bahagia mendengarnya" ucapku kemudian dan memaksakan melebarkan senyumku denga air mata yang berderai hebat.
Sakit. Perih. Hancur. Remuk. Kesal. Kecewa. Sekaligus bahagia melebur menjadi satu. Mengaduk-aduk batinku saat itu. Aku tak tahu lagi harus bersikap seperti apa. Haruskah aku tertawa terbahak-bahak menyaksikan takdir gila yang tengah kujalani. Atau aku menangis meraung-raung menyesali jalan hidupku yang tak pernah membiarkan bahagia memihak padaku.
Entahlah, yang jelas, saat ini, aku hanya ingin sendiri.
Kupejamkan mataku kembali, haaahh,,, sulit sekali menghapus semua kenangan-kenangan itu, batinku. Semoga, setelah hari ini. Ada pelangi indah yang menanti untuk menghiasi sudut jendela kamarku yang gersang dan berdebu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun