Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koper Tua

18 Mei 2016   12:40 Diperbarui: 18 Mei 2016   13:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
daughter dravcula nosferatu (inside)

Seharusnya malam itu aku sudah tiba di rumah. Namun masih ada sebuah pekerjaan lagi yang belum terselesaikan maka tidak boleh tidak harus aku selesaikan, sebab besok almanak dinding membubuhi  tinta merah. Perayaan Jumat Agung bagi Umat Kristiani.

Dan akhirnya, malam itu aku terlambat pulang. Rumahku di seberang pulau.  Waktu tempuh kurang lebih sepuluh menit untuk menuju pulau kampung halamanku. Sangat dekat jaraknya.

Perahu angkutan terakhir hanya sampai pukul sembilan belas. Selebihnya itu tidak ada lagi. Beruntung kalau ada perahu dari kampung tetangga yang bisa aku menumpang. Kalau tidak, maka genaplah penderitaan ini. Sebagai umat yang meyakini akan sang Penebus dosa, maka malam itu jua aku turut menderita bersama Dia. Sebab aku harus menunggu dan menunggu hari besok di tempat itu. Terkadang satu dua ekor nyamuk mencium daun telingaku.  Jam tanganku  telah menunjukan pukul duapuluh dua lewat lima menit.

Malam itu udara sangat dingin. Dingin sekali. Apalagi di sebuah dermaga penyeberangan, lautan yang nampak  teduh  hanya semilir angin laut berhembus. Angin itu berbisik dengan bahasanya sendiri. Tapi aku bisa merasakan apa yang dibisikan lewat ujung rambut di atas telingaku. Sekali – kali tanganku mengebas.

Aku duduk tidak jauh dari gerobak penjual rokok. Sambil merogoh beberapa keping uang logam yang tersisa di kantung celanaku, untuk membeli rokok, membakar tubuhku dengan racun nikotin. Tapi, rasanya agak nyaman. Sebab nyamuk yang tadi mulai mengecup telingaku dan pangkal lenganku hilang. Mereka takut dengan asap.  Ya, asap. 

Tadinya asap ku pikir sesuatu yang berbahaya bagi tubuh, terutama paru – paru. Bisa menimbulkan penyakit sesak nafas. Ternyata asap bisa menguntungkan juga, sebab bila tidak ada asap  mungkin besok aku harus digotong ke Rumah Sakit. Karena  nyamuk pembawa virus Malaria akan menggerogotiku. Aku tersenyum kecut.  Dalam  kemasan rokok, tertulis; merokok dapat menyebabkan penyakit kanker dan impoten. Dalam kemasan yang baru sekarang telah diganti;  dilarang menjual / memberi pada anak usia dibawah 18 tahun dan perempuan hamil.

Seandainya aku merupakan bagian dari pengambil keputusan akan mengusulkan,  kalau bisa ditambahkan pada tanda perhatian tadi dengan kalimat ; “ silahkan merokok bila tempat anda ada nyamuk!”

Percuma. Tidak ada gunanya memikirkan  hal seperti itu. Sudah pasti segala usulan akan diremehkan. Bahkan yang terjadi pada zaman sekarang ini, sesama orang pintar saling sikut menyikut. Yang jelas, orang – orang baik di negeri ini, punya visi dan misi yang cemerlang akan dijadikan sasaran tembak bagi kelompok lain  untuk didiskriminasi dan disalahkan.

Bukan menjadi rahasia lagi. Di mana – mana menjadi obrolan terutama di  warung – warung  kopi. sebagai  tempat berkumpulnya para politikus jalanan. Topik pembahasan mereka hanya dua soal saja. Kalau bukan batu – batu perhiasan pasti soal pemerintahan dan perpolitikan. Mereka mengikuti terus perkembangan setiap hari. Wah,,! “The man in the street”. Maklum zaman internetan. Sekali klik, dunia dalam genggaman dia.

Ah. Sudahlah, itu urusan mereka. Aku hanya seorang kuli bangunan. Handphone saja masih zaman 310 dan 315.

             **********

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun