Pada sebuah pagi. Pagi yang dingin oleh tanah masih lembab. Sehabis titis embun malam mengguyur wajah bumi dengan titik – titik basah. Dengan perlahan sekali, titik air itu menetes dari daun –daun yang berkeriapan. Jatuh ke tanah –tanah yang kering dan pecah. Partikelnya menyatu dengan akar umbi – umbian. Hingga keesokan harinya, segala jenis tanaman bertunas dengan kuncup yang mekar. Bersemi sepanjang hari.
Angin yang silir semilir menyepoi tubuhku yang terbalut blus merah muda yang telah kusam. Kulitku serasa mengirik, dibelai. Walaupun pikiranku saat itu bukan pada kedinginan. Tapi bilakah aku bertemu Ibu Ratih. Dia mengajak aku untuk membantu pekerjaan di rumah mereka yang ada di kota. Bukan karena aku bisa dan mampu bekerja. Tapi aku akan dijadikan pembantu oleh Ibu Ratih sekeluarga.
Karena Ibu Ratih kemarin siang datang ke kampungku. Dia sedang mencari seorang pembatu rumah tangga. Kebetulan Ibu Ratih bertemu dengan ibuku. Dengan sedikit pembicaran oleh mereka, aku disetujui dan diterima oleh Ibu Ratih untuk bekerja di rumahnya. Padahal aku sangat berat meninggalkan rumahku. Rumah yang menjadi tempat hunian bagi aku dan ibu. Rumah peninggalan almarhum ayah. Apalagi meninggalkan ibu sendirian.
Pekerjaan ibu juga hampir serupa dengan pekerjaan yang akan aku geluti nanti. Ibu hanya seorang tukang cucian pakaian pada seorang Ko dan Ci disebuah toko di kota kecilku. Aku sungguh kasihan pada ibu. Tetapi ibuku mampu melalui semua pekerjaan itu, seorang diri tanpa ayah disisinya. Upaya ibu dengan membanting tulang memeras keringatnya, sungguh tak akan terlupakan sepanjang hayat dikandung badan ini. Sehingga aku hingga menyelesaikan sekolah sampai tamat SLTA.
“Pergilah, Seruni. Ibu Ratih kelihatannya orang yang baik. Ibu masih bisa bekerja sendirian di sini.” Ibuku berkata semalam sebelum beranjak ke pembaringan.
“Tetapi Ibu… aku akan selalu teringat Ibu nanti. Bagaimana nanti bila ibu jatuh sakit. Siapa yang akan merawat Ibu nanti!” Jawabku sambil mengejap mataku menahan luapnya air kesedihan.
“Jangan terlalu memikirkan dengan kesedihan,nak! Ibu akan selalu baik – baik. Percayalah Seruni!”
Aku berjalan susuri lorong, setelah mobil angkutan penumpang yang aku naiki tadi dari stasiun 45. Dengan sedikit membuka kertas, bekas pembungkus rempah yang aku tulis kemarin. Alamat Ibu Ratih; Jalan Kedondong Nomor 5 Gang B Kelurahan Sindulang II. Hingga pada satu tikungan aku melihat pagar putih. Pada tiang gerbangnya tertera angka 5. Halamannya sangat luas. Rumah bercat putih layaknya serupa istana.
Sebagai seorang gadis desa, yang kerap keluguan itu melekat. Tanpa dibuat – buat namun menjadi sebuah pranata sosial dalam sisi – sisi hidup. Dengan ciri khas seperti itu dengan cepat terbaca oleh orang lain.
“Non, mau cari siapa!” seorang petugas pengamanan kompleks perumahan menegur aku.
“E,,maaf pak. Aku mau ketemu ibu, ibu Ratih!” dengan gugup aku menjawab