Tanah ini telah kering
Oleh darah dan air matamu
Tulang belulangmu telah lebur
Menjadi  kaki kita berpijak
Engkau telah meneroka  jalan ini
Menjadi setapak  setiap nadi kebencian
Sejengkal  bumi  membaitkan langkah  yang melolong
Mencekau  setiap derit  sebuah jeritan panjang
Tentang makna yang tak pernah hakiki
Serindit di bilik bambu mengepak separuh sayap
Untuk menadah selenting  lengan yang menggapai
Mencaruk di ranting  patah dengan selembar nyawa
Bila musim telah punah dan rembulan gugur di lumut
Apakah esok bisa berkaca tentang hari yang remah
Kupahat setiap hempasan samudra yang jatuh bangun ke air
Pergi  ke bibir – bibir tebing yang setiap kali kulewati runtuh
Menimpa langit yang sekarat luka tertikam amarah
Kepada siapa lagi telaga bening itu hening  tercipta
Tatkala hujan pucat pasi wajah kemarin
Kulipat kidung yang hilang sepertiga  notasi
Di atas balok awan terkebat  kabut membilang silam
Tersetai bagai tulang belulang yang menggigil para leluhur
Memungkang bersama bayangan yang lesap di ujung tikungan
Kembali ku pulang sambil sesapkan  napas mencelupkan angan
Serpihankelana,12112016 Â Â Â Â Â Â Â Â Â sastra dewata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H