Mencaruk di ranting  patah dengan selembar nyawa
Bila musim telah punah dan rembulan gugur di lumut
Apakah esok bisa berkaca tentang hari yang remah
Kupahat setiap hempasan samudra yang jatuh bangun ke air
Pergi  ke bibir – bibir tebing yang setiap kali kulewati runtuh
Menimpa langit yang sekarat luka tertikam amarah
Kepada siapa lagi telaga bening itu hening  tercipta
Tatkala hujan pucat pasi wajah kemarin
Kulipat kidung yang hilang sepertiga  notasi
Di atas balok awan terkebat  kabut membilang silam
Tersetai bagai tulang belulang yang menggigil para leluhur