Dari bibir – bibir samudera, ketika kakiku kangkangi  bumi ini
dengan sebilah pedang keadilan menghunus , untuk merobek  selaksa matimu
tapi bukan untuk mengayunkan seribu luka yang  pernah terucap
jika hanya lidah yang bertutur dengan serapah  di batu nisan
Bila langit adalah kawanan hipotesis dengan menduga- duga mimpi
yang engkau raih di tebing – tebing yang runtuh sehabis amuk derau hujan
tanah  - tanah merah tak menerima sekumpulan domba – domba dungu
yang hidup bersama  picing mata  di  bukit tandus  tepian ngarai
 Selagi bisa bernafas dengan pekik halilintar dan  mencoba raih kemenangan
aku tak pernah beranjang ke  tepian senja yang penuh cinta dan duri
sebab aku berdiri dengan iga – iga terburai, kusuk menjeda doa- doa ampunanmu
selebihnya engkau tahu: Â rahimku tak pernah ingkar mati, Â selumbar kematian
@rskp, 26052016,,,, Â Â Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H