Namanya Fintje Emili Mundung. Â Lahir tanggal 5 Oktober 1939 di Tombasian, Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara. Dianugerahi paras wajah yang cantik, dan kerap dianggap mirip dengan Bu Tien Suharto, Ibu Negara Kita. Ya ... Perempuan cantik itu adalah Mamaku.
 Selain cantik, Mamaku juga cerdas. Bahkan mendiang bapakku mengakui kalau Mama lebih cerdas ketimbang dia. Punya Mama yang berotak encer adalah keberuntungan bagiku. Apalagi, saat itu aku adalah generasi 80 an. Generasi yang belum kenal Om Google. Mama laksana 'perpustakaan hidup'. Darinya aku bisa mempelajari berbagai hal. Karena bagiku Mama adalah guruku. Ibu, sekolah pertamaku.
Mama yang pertama kali mengajariku membaca. Dia membuat ritual belajar membaca jadi menyenangkan. Mama tak pernah menggunakan poster alfabet, poster angka, mainan huruf-huruf, dan sebagainya, untuk ketika mengajariku baca.
Mama menggunakan media belajar sederhana, yaitu koran. Entah itu koran baru ataupun koran bekas. Kebetulan mendiang Bapak adalah 'pencinta' koran. Salah satu koran yang dijadikan media belajarku oleh Mama adalah Kompas. Â Jadi terngiang yang diucapkan Mama saat mengajariku, "Ini bacanya apa dek? Â " tanya Mama dengan suara lembutnya menunjuk sebuah berita di koran. Dan aku harus membacanya. Â Kalau benar, dapat pujian. Kalau salah, dapat senyuman, plus kata Mama "Ulangi ya ....," Terpaksa aku mengulanginya.
Selain membaca, aku dapat manfaat tambahan dari belajar baca menggunakan koran ala Mama. Aku bisa tahu dan hafal nama-nama kepala negara, perdana menteri, ibukota negara, mata uang, dan sebagainya. Bagaimana tidak, hari ini aku disuruh baca berita politik. Besok aku baca berita ekonomi. Lusa, aku baca berita kesehatan, dan sebagainya. Hasilnya, ketika aku di bangku Taman Kanak-kanak (TK), Â sudah bisa membaca, punya pengetahuan umum yang cukup banyak, dan bisa menulis.
Memasukki usia SD hingga SMA, Â aku tak pernah khawatir dengan pelajaran eksakta. Disaat otakku lagi mentok, Mama siap mengajariku. Penjelasan Mama jauh lebih mudah kupahami. Memang, Mamaku jago untuk urusan ilmu pasti.Â
Aku beranjak kuliah. Mama menambahkan pelajaran baru bagiku. Pelajaran kewanitaan. Memasak dan sejenisnya. Aku yang rada tomboy, sebetulnya kurang suka dengan dunia perdapuran. Satu-satunya masakan yang ku kuasai adalah mie instan plus telur. Namun, Mama tak bosan mengajariku. Mama menjelma jadi guru masakku. "Jadi perempuan jangan lupa kodrat ...., " wejangannya.
Dengan sabar Mama menjelaskan bedanya ketumbar dan merica. Karena aku masih sering salah membedakan keduanya. Berkali-kali Mama menyelamatkan masakanku saat rasanya kacau balau berantakan. Dia juga yang mengatasi kebingunganku mencari sesuatu yang tidak ada di dapur. "Jangan cari yang tidak ada, " nasihatnya, saat aku kesal tidak menemukan daun salam di tempat bumbu dapur untuk sayur lodehku.Â
Mungkin bagi sebagian perempuan, masak itu bukanlah kodrat. Toh ... banyak chef terkemuka itu pria, tapi bagi Mama perempuan harus pandai memasak. Tak perduli setinggi apapun kariernya.Â
Mama memberiku contoh menjadi insan yang baik. Menghindari ghibah, bersikap sederhana, rendah hati, dan menolong sesama manusia. Ketika mendiang Bapak  menolong siapapun tanpa melihat suku, agama, ras, dan golongan. Mama mendukungnya. Pintu rumah kami terbuka untuk siapapun.Â
Mama juga mengajariku cinta. Bagaimana menjadi istri yang baik. Mencintai dengan tulus pasangan kita. Menerima segala kelebihan dan kekurangannya. Tak pernah mengeluh dengan sedikit atau banyaknya penghasilan mendiang Bapak. Karena Mama memegang teguh prinsip hidup yang diamanatkan oleh ayahnya, 'Jangan kasih makan anakmu uang haram'. Prinsip hidup yang juga diwariskan kepadaku dan kakak-kakakku.