Hak Guna Usaha (HGU) adalah salah satu jenis hak atas tanah di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. HGU memberikan izin kepada seseorang atau perusahaan untuk menggunakan tanah milik negara untuk keperluan pertanian, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan utama dari HGU adalah untuk memastikan tanah di Indonesia digunakan secara produktif dan mendukung pembangunan ekonomi, khususnya di bidang agraria. contoh penerapan HGU di berbagai daerah di Indonesia untuk memahami lebih baik bagaimana aturan ini bekerja di lapangan.Dengan memahami HGU secara menyeluruh, kita bisa melihat peran pentingnya dalam sistem pertanahan dan agraria di Indonesia dan bagaimana aturan ini bisa terus diperbaiki untuk kepentingan semua pihak yang terlibat.
Seperti konflik yang terjadi  antara PT. Bimas Raya Sawindo dan masyarakat di Kecamatan Air Napal berakar dari penguasaan lahan HGU yang sebelumnya dimiliki oleh PT. Varietas Indah. Berdasarkan SK. Mendagri No.47/HGU/DA/1987, PT. Varietas Indah memperoleh HGU seluas 3000 hektar, yang kemudian dilelang karena kebangkrutan perusahaan, dan dimenangkan oleh PT. Bimas Raya Sawindo pada 6 Januari 1997.Â
Namun, proses balik nama HGU baru selesai pada 4 Juli 1998, mengukuhkan hak PT. Bimas Raya Sawindo atas lahan tersebut. Konflik muncul karena masyarakat merasa lahan tersebut, yang seharusnya diganti rugi oleh perusahaan, belum sepenuhnya diselesaikan. Masyarakat mengklaim bahwa sebagian lahan HGU berada di tanah mereka dan bahwa pengukuran awal tidak jelas.
 Akibatnya, masyarakat mulai menggarap lahan tersebut sejak 1996-1997, yang kemudian diperparah oleh transaksi jual beli lahan garapan. Upaya penyelesaian konflik terus dilakukan, terutama setelah peralihan kepemilikan ke PT. Bimas Raya Sawindo, tetapi hingga 2018 konflik belum terselesaikan. PT. Bimas Raya Sawindo berupaya mengganti rugi masyarakat, namun sebagian tetap bersikeras mempertahankan tanah yang mereka anggap milik mereka.
Konflik muncul karena masyarakat setempat merasa bahwa lahan tersebut belum sepenuhnya diganti rugi oleh perusahaan. Mereka mengklaim bahwa sebagian lahan HGU sebenarnya berada di tanah yang mereka miliki dan bahwa pengukuran awal lahan tersebut tidak jelas. Pada periode 1996-1997, masyarakat mulai menggarap lahan yang mereka anggap milik mereka, dan situasi ini diperburuk oleh transaksi jual beli lahan garapan di antara mereka.
Konflik muncul karena masyarakat setempat merasa bahwa lahan tersebut belum sepenuhnya diganti rugi oleh perusahaan. Mereka mengklaim bahwa sebagian lahan HGU sebenarnya berada di tanah yang mereka miliki dan bahwa pengukuran awal lahan tersebut tidak jelas. Pada periode 1996-1997, masyarakat mulai menggarap lahan yang mereka anggap milik mereka, dan situasi ini diperburuk oleh transaksi jual beli lahan garapan di antara mereka.
konflik antara masyarakat setempat dan perusahaan terkait lahan HGU terjadi karena perbedaan persepsi tentang kepemilikan tanah dan kompensasi yang adil. Solusi yang tepat adalah melalui mediasi netral, pengukuran ulang lahan dengan teknologi modern, memberikan kompensasi yang adil kepada masyarakat yang berhak, dan pengawasan ketat terhadap transaksi tanah. Dengan cara ini, diharapkan dapat mencapai penyelesaian yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H