JANGAN bicara tentang kesempurnaan jika itu menyangkut diri manusia. Kita berharap baik boleh saja, tetapi memastikan bahwa yang kita harapkan adalah baik, nanti dulu. Kenapa? Harapan orang terlalu sering menjunjung tinggi ego dan menginjak akal sehat dengan satu kaki kebodohan.
Harapan terhadap orang lain acap berlebihan. Bendera harapan dikibarkan tinggi-tinggi tanpa kesadaran, suatu saat, ada kemungkinan tali putus dan hujan deras serta angin kencang datang tiba-tiba. Orang lupa harapan bisa kandas dan membuahkan kisah sedih serta membagi cuma-cuma hadiah sekuntum bunga kekecewaan yang tengik sekali.
Kasus A’a Gym menikah lagi memantik ingatan kolektif kita. Dari berita dan cerita sana sini betapa kasus tersebut berbuntut rasa kecewa yang dalam bagi ibu-ibu yang dulu sangat mengidolakan ustadz kondang dari Bandung itu. Sebelumnya, di mata khalayak, A’a Gym adalah sejenis ikon suami yang setia, penyayang, dan punya gairah keagamaan yang mantap. Namun, pasca kenyataan A’a Gym berpoligami, citra sang ustadz di mata sebagian ibu-ibu khususnya menjadi minor dan miring (sekali).
Kasus lain adalah berita heboh belakangan. Kasus beredarnya video mesum yang pelakunya diduga adalah artis terkenal yang tampangnya setiap hari menghiasi layar kaca. Orang kaget, khalayak terhenyak. Taruhlah pelakunya benar adalah artis seperti diduga, orang tak mengira bahwa mereka bermoral serendah itu. Celoteh tentang moralitas pun bergema tiba-tiba dan dimana-mana.
Bisa dimengerti jika kemudian kasus ini menyita perhatian masyarakat dari berbagai lapisan. Tukang becak hingga presiden pun ikut berkomentar. Orang sederhana berpikir sederhana, jika orang terkenal saja seperti itu apalagi orang biasa. Pikiran samar yang menyebar itu pun mengusik pemerintah. Karena ini berkaitan dengan teknologi, pemerintah melalui menteri terkait sampai harus membahas ini secara amat khusus.
Kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah sekaligus beban tak tertanggungkan bagi sang artis. Seolah-olah dengan perhatian yang besar itu, sang artis harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kemungkinan jatuhnya moralitas anak-anak muda di negeri ini. Ini jelas sesuatu yang tak adil. Tapi, sepertinya media mendorong pengesahan bahwa sang artis layak menerima sanksi sosial yang demikian berat. Sepertinya menjadi artis harus siap dengan berita-berita besar meski itu soal aib yang selayaknya ditutup rapi. Kalau tak mau, jangan jadi artis!
Itu adalah potret masyarakat yang kecewa. Potret nyata akhir dari harapan-harapan yang tak berujung indah. Harapan yang meleset.
Semoga kita tetap memiliki harapan yang baik dengan pijakan yang kuat dan benar. Ketika kita sadar bahwa tak ada manusia yang sempurna mudah-mudahan pada saat yang sama keyakinan kita bahwa hanya Dia Yang Maha Sempurna mengemuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H