Mohon tunggu...
Subhi Muhammad
Subhi Muhammad Mohon Tunggu... -

Guru mengaji di surau desa. Pembuat puisi yang tak pernah jadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsepsi Pendidikan Islam di Indonesia

8 Agustus 2014   14:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tanpa menafikan sektor lain, bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sektor dakwah yang paling dengan mudah ditunjukkan keberhasilannya. Dalam kurun 20 tahun terakhir, berbagai prestasi pendidikan Islam tampak menonjol, dari tingkat taman kanak-kanak, dasar, menengah, maupun atas. Kini dengan mudah kita jumpai elite-elite muslim yang tanpa malu-malu bahkan merasa bangga mengirimkan anak-anaknya ke sekolah Islam atau pondok-pondok pesantren. Bahkan banyak sekolah-sekolah Islam yang nilai ujian nasionalnya melampaui prestasi-prestasi sekolah non-muslim atau sekolah umum. Perlu disadari bahwa prestasi ini tidak dicapai dengan mudah. Sejumlah pengelola lembaga pendiididkan Islam bercerita suka duka merintis pendidikan di era 1980-1990an. Banyak dari mereka yang datang dari rumah ke rumah untuk meyakinkan para orang tua bahwa sekolah yang akan mereka dirikan adalah sekolah serius dan bermutu tinggi. Tidak jarang mereka menjadikan anak-anak mereka sebagai “singa percobaan”untuk menjadikan orang lain percaya.

Guru dan kurikulum adalah faktor yang sangat berpengaruh pada perubahanini. Guru dalam Islam bukan hanya seorang yang menyampaikan ilmu pengetahuan, namun ia harus menjadi pribadi teladan. Guru bahasa misalkan, tidak hanya bertanggung jawab memahamkan materi, namun ia memiliki tanggung jawab lain sebagai seorang guru Muslim. Karena Islam tidak pernah memisahkan antara ilmu dan amal. Keduanya saling bersinergi dalam sebuah proses pendidikan.Problem utama kita bahwa mengajar seringkali dianggap sesuatu yang mudah dipelajari dan dipraktekkan oleh siapa saja. Hal ini bersumber dari dua hal utama: pengalaman menjadi siswa selama bertahun-tahun dan asumsi bahwa jika seseorang memiliki pengetahuan yang lebih maka ia otomatis dapat mengajarkan pengetahuannya tersebut, inilah yang penulis sebut dengan narasi kebudayaan mengajar. Koreksi yang dilakukan seorang guru tentang metode yang ia gunakan dalam mengajar dan apakah ia adalah guru yang dapat menjadi teladan untuk menjadikan siswanya beradap adalah langkah efektif untuk mengawal pendidikan Islam di negeri ini. Sebuah mahfudzot dikatakan:

الطريقةأهم من المادة, الأستاذ أهم من الطريقة, روح الأستاذ أهم من الأستاذ.

“metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode, ruhiyah seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri.”

Tentang kurikulum, kita bisa memahami bahwa realitasnya pendidikan kita masih dihegemoni oleh pola pikir sekuler yang menjauhkan pelajar Muslim untuk mendapatkan ilmu secara benar dan proporsional, khususnya tingkat pendidikan tinggi. Struktur kurikulum di perguruan tinggi umum yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam hanya 2 SKS selama masa kuliah, tentu sangat jauh dari kurikulum ideal dalam prespektif Islam. Belum lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama yang berbasis wahyu (revealed knowledge) bukan dianggap sebagai ilmu (knowledge) karena tidak bersifat rasional dan empiris. Dikotomi seperti ini adalah warisan kaum penjajah yang sudah out of date.

Dengan adanya integrasi keduanya kita akan terbebas dari mitos-mitos pendidikan yang selama ini mengikat para pelajar terkhusus mahasiswa. Tentang para orang tuayang membanting tulang, bekerja keras demi menyekolahkan anak-anaknya, demi membiayai pembangunan sebuah kotak lengkap dengan instrument-instrumentnya yang kemudian kita sebut sebagai kampus atau universitas. Berapa banyak tanah, kerbau dan semacamnya yang tergadai demi semua itu? pasrah begitu saja dengan mitos pendidikan itu mahal.

Tentang mahasiswa yang kehidupannya terpasung selam bertahun-tahun. Yang kehilangan keunikannya. Tentang orang tua mereka, melihat anak yang tak lagi dikenalnya. Anak yang tahu benar tentang keluhuran, hanya tak pandai untuk menerapkannya. Terjaga dengan urusan akademis, terlelap tentang realita kehidupan. Tentang doktrin bahwa gelar akademis adalah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mengubah nasib mereka. Diajarkan menghafal tanpa diajarkan menelaah. Diajarkan berhitung tanpa tahu apa yang mesti diperhitungkan. Diajarkan untuk mencari majikan sekaligus menjadi bawahan yang super taat. Yang ada adalah kurikulum pembentukan manusia siap pakai. Mereka yang diajarkan tentang agama (puas dengan 2 SKS) sekaligus diseret untuk mendurhakaiNya.

Tidak ada pertukaran ide, yang ada hanyalah pendiktean ide. Beda sedikit denga dosen dianggap melawan. Intelektualitas mahasiswa diberangus oleh dosen-dosen yang serba tahu. Ruang kuliah lebih mirip ruang indoktrinasi dan pemaksaan konsep. Materi kuloiah didominasi dengan tugas-tugas penelitian yang kemudianhanya ditumpuk. Mulaihilang kesadaran bahwa belajar bukan hanya menghafal berbaris kata dari diktat dan buku catatan. Tentu pula bukan menelan bulat bulat semua fatwa pengajar. Tetapi meresapi bagaiman belajar berbuat tentu lebih dari semua itu.

Akhirnya kaum intelek Muslim memikul hutang sejarah untuk mengamalkan pengetahuan yang telah dikunyahnya selama bertahun-tahun. Hutang untuk menata dan terus mengembangkan sistem pendidikan Islam dinegeri ini. Tulisan ini mengajak kita gelisah dan resah ilmiah. Tidak bermaksud menyudutkan sebagian pihak. Hanya berharap semoga berguna menjadi patron bagikitatentang frame of reference dan field of experience dalam kancah pergulatan berkembangnya sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun