Mohon tunggu...
Subhi Muhammad
Subhi Muhammad Mohon Tunggu... -

Guru mengaji di surau desa. Pembuat puisi yang tak pernah jadi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surga Tanpa Atap

8 Agustus 2014   16:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:04 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sepenggal surga itu turun di sini. Meninggalkan separuhnya tergantung melangit. Bergaris sebuah ikatan yang terlalu sulit diurai lepas. Bersuarakan kelakar bocah-bocah  peniup gelembung dari getah batang pohon jarak. Berburu serangga,tertawa, berlari, terjatuh, menangis, tertawa kembali.

Terlantun gita ceria ibu-ibu muda penumbuk padi. Lepas sudah sapa curiga kepada lengkung batangnya yang bergoyang. Yang selalu membuat suami-suami mereka berpaling sejenak dari sang istri.

Semua menjadi mudah. Tiada umpatan tentang air yang tak mengalir, atau segenggam pupuk yang tiada terbeli. Seakan alam tunduk menempuh takdirnya sendiri. Kepada subuah catatan abadi yang tersimpan.

Senjanya akan datang dengan warna yang berbeda dengan sebelumnya. Mereka berkata bahwa ada peri yang bermain air dibalik gulungan awan merah.

Pagi menjelma sebagai harapan baru tertimbunnya puing penat dan melimpahnya bulir nikmat. Tetes embun yang  tersisa di pucuk-pucuk daun jatuh kebawah. Bunyi keletak-keletik terdengar bila butir air itu menimpa daun pisang atau keladi.

Pada empat penjuru, tampak batasan tipis separuh busur pelangi yang memisahkannya dengan tempat lain. Ada yang menunda kedipan mata ketika warna itu terbias pecah menjadi jutaan serpih yang menghias rama langitnya.

Tanah dengan pasir permata, memaksa kami bocah-bocah berkulit matahari menanam bibit mimpi. Menyiraminya setiap hari dengan kalimat kudus yang juga kami baca di surau. Menunggu dengan gelisah apakah buah yang kelak akan tumbuh di pucuk dedaun lentiknya.

Di sana sebuah kotak dimana aku dibesarkan. Dititipkan pada sekerat rahim bidadari. Ditimang dengan nada kinanti. Diajarkan mengukir sebuah nama pada sebalik batang bambu.Duduk di sampingku setiap harinya seorang yang sangat mencintaiku, yang sampai kini masih menganggapku sebagai bunga mawar di kebun hidupnya. Sebuah pena dan sebungkus cerita telah kutinggalkan. Maka segera temui aku kembali. Kita akan bersama menanam setaman bunga kertas, menerbangkan layang, melompati karet gelang, berlarian mencari semak untuk bersembunyi sampai hitungan kesepuluh.

Pada hari yang paling haru itu, akan kuajarkan kau menyulam kata menjadi lembaran sutra, menyepuh karat menjadi emas, menanam duri beracun menjadi rimbun bunga anggun.

Sepenggal surga itu turun disini. Di sebuah Negeri sambut khatulistiwa yang tak bertuan. Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun