Dunia kembali berduka dengan terjadinya terror bom bunuh diri pada sebuah gereja di Filipina. Warga Negara Indonesia disebut sebagai pelaku bom tersbut. Ironisnya pelaku bom itu teridiri dari satu keluarga ( baca disini).  Kejadian ini mengingatkan kita akan pelaku bom bunuh diri pada sebuah gereja di Surabaya pada tahun 2018 silam, yang pelakunya juga terdiri dari satu keluarga. Fenomena bom bunuh diri ini lagi - lagi di kaitkan dengan suatu keperyaan agama. Sehingga diidentikan dengan Teroris. Apakah penganut agama tersebut semuanya disebut Teroris?
Kejadian ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa orang relah mati untuk suatu kepercayaan agama? Pastinya orang yang hidup belum pernah melihat surga dan neraka, hanya orang sudah meninggal yang dapat melihat surga dan neraka. Tentunya menurut kepercayaan suatu agama surga dan neraka itu ada.
Apakah ajaran kepercayaan agama ini akan menjadi senjata model baru di dunia; khususnya Indonesia? Misalnya, seseorang didoktrin dengan ayat-ayat dalam suatu kitab suci bahwa pekerjaanya sangat mulia jika dapat mati demi membela agamanya.
Maka tidak perlu lagi menggunakan senjata organik (Pistol, AK47,dll) cukup dirinya dijadikan sebagai objek bom. Bom mempunyai daya ledak yang besar, jika dibandingan dengan senjata api. Daya rusak bom lebih besar dan dampaknya sangat terasa. Dampak fisik dan pisikis.
Daerah yang masuk dalam jangkauan ledakan bom pasti akan hancur, bangunan akan rusak parah ketika terjadi bom di dekatnya. Korban ledakan bom akan trauma jika mengingat sebab-akibat terjadinya bom tersebut. Khususnya korban bom di gereja.
Fenomena ini seolah-olah akan menjadikan kepercayaan suatu agama menjadi senjata efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Cukup dengan memainkan isu dan doktrin ajaran agama tertentu, maka akan mendapatkan respons dan simpati yang cepat dari umat tersebut.
Rasa memiliki kesamaan suku, agama, dan ras, membuat orang lebih cepat bertindak dalam melakukan suatu aksi terhadap reaksi. Rasa saling memiliki membuat sesorang lebih cepat tersentuh hati nuraninya.
Bagaimana dengan pancasila? Apakah bangsa Indonesia mempunyai rasa saling memiliki terhadap Pancasila? Misalnya, kejadian intoleransi antar umat beragama di Papua, hampir tidak pernah terdengar. Toleransi antara umat beragama berjalan dalam suatu bingkai koridor harmoni yang menyejukan jiwa raga.Rumah-rumah ibadah tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Rumah ibadah dari berbagai aliran kepercayaan berdiri megah tanpa diganggu oleh seorangpun.
Tapi mengapa untuk membangun sebuah gereja di tanah Jawa sulitnya minta ampun ? Bahkan warga setempat ikut terlibat untuk melarang. Apakah sistem pemerintahan, berbangsa dan bernegara, juga sudah terkena doktrin seperti para pelaku bom bunuh diri?
Mungkin, seluruh bangsa Indonesia harus jadikan papua dan sekitarnya sebagai pilot project dalam hal nilai-nilai toleransi antar umat beragama, serta pengamalan kepada Pancasila; Bhineka Tungaal Ika (Berbeda Beda Tetapi Tetap Satu).