Bagaimana rasanya, Nay, ketika kau bisa berada dihadapannya? Melihat dia tertawa, bukan hanya mendengarnya lewat perangkat selular. Menyenangkankah dirayu dengan cara yang begitu samar? Dia selalu bisa membuat perempuan mencintainya. Dia selalu bisa..
Sekilas aku mendengar namamu tersebut, Nay. Rasanya seperti ada gada yang dipukulkan ke dada. Sakit luar biasa. Bagaimana bisa, Nay, hanya sebuah nama menimbulkan nyeri yang tiada tara?
Namamu, Nay, bukan yang pertama. Seperti juga aku ketika mengiyakan ajakan pacaran darinya, aku bukan yang pertama.. bukan satu-satunya.
Nay, mungkin dengan menyebut namamu sesering ini bisa menjadikanku sedikit terbiasa. Sehingga bila dikemudian hari dia kembali bercerita tentang wanita-wanita yang luluh oleh mulutnya, termasuk juga engkau, Nay, aku tidak akan terlalu lara.
Nay, darinya aku belajar banyak. Tapi sama seperti sekolah, guru kita akan terus berganti. Waktu TK dan kelas satu SD, kalau tak salah ingatku, gurunya cuma satu. Itu-itu melulu yang tiap hari mengajarmu. Lalu ketika mulai naik kelas, akan ada beberapa pelajaran yang diajar oleh guru yang berbeda. Sampai nanti kau SMA atau bahkan kuliah, tiap pelajaran, gurunya tak sama. Mungkin seperti itu juga aku menimba ilmu di universitas kehidupan ini.
Sekarang dia sedang jadi guruku. Aku hanya murid, tak berhak untuk cemburu bila pada orang lain sang guru membagi ilmu.
Hanya saja, kadang tak bisa mencegah nostalgia. Kau tahu tidak, Nay, dia pernah menyampaikan keyakinannya tentang jodoh. Katanya dia yakin bahwa aku adalah jodohnya. Kenapa, Nay? Mungkin karena seperti katanya, aku dia anggap sebagai perempuan yang paling mampu mengerti dia.
Hh, sebenarnya, Nay, aku bukan mengerti. Aku hanya lebih banyak diam. Ketika dia bercerita tentang pecintanya, aku memilih tuli. Mengatur waktu untuk kadang menyahut pendek, dan juga tertawa. Pura-pura tertawa. Aku hanya ingin dia merasa nyaman denganku, Nay. Aku ingin dia merasa bisa bercerita apa saja. Tapi, Nay, itu menjadikan dia lupa bahwa aku adalah kekasihnya...
Aku cemburu, Nay. Hatiku luka. Tapi aku tetap diam saja.
Aku cuma menangis, selepas perbincangan kami ditelepon usai. Miris, Nay. Miris.
Belakangan ini, sejak suatu hari dia mendengarku mengaji, dia suka beberapa kali menyuruhku mengaji sampai dia tertidur. Malah dia sempat curi-curi merekamnya, dan kata dia, dia kerap memutar rekaman itu ketika ditempat magangnya dia tidak bisa tidur karena gelisah. Aku senang, Nay. Aku senang kalau dia suka mendengarku mengaji. Aku suka kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membawanya semakin dekat dengan Illahi. Itu salah satu penyebab kenapa begitu sakit mengetahui dia begitu ... begitu ... ah, sudahlah.
Nay.. Naya. Entah siapa nama lengkapmu. Kata dia namamu Naya. Perempuan belia yang masih duduk dibangku SMA, yang hidungnya bangir dan jelita. Naya. Gadis rumah sebelah yang diajaknya berkenalan dan kemudian berjalan-jalan ke bendungan. Naya, yang pada hari ketiga lantas ganti mendatanginya.
Naya.. Naya.. Naya..
Apa kau tahu bahwa aku adalah kekasihnya?
Aku yakin kau tidak tahu. Aku yakin dia tidak akan membiarkanmu tahu itu.. :'(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H