Ketika seseorang mempertanyakan suatu kebenaran, maka kepastian bagi suatu dugaan kebenaran boleh jadi dihakimi oleh pengamatan. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan uji pendengaran, uji perabaan, dan uji penglihatan. Namun mungkin yang paling disukai adalah uji penglihatan, dimana tanpa dapat dilihatnya suatu kebenaran, segera dinyatakan sebagai kurang benar atau bahkan tidak benar (tidak dapat dipercaya) sama sekali. Lalu bagaimana seharusnya ...?
Jika dilihat dari segi elemen dari mengamati, memahami atau mengalami, anda dapat menyatakan semuanya sama saja, dimana mengamati adalah mengamati apa saja yang dipahami, memahami dengan mengamati, atau mengalami keadaan mengamati dan memahami. Mari kita tinggalkan samarnya hal ini, dan memberikan pembatasan, agar anda dapat memahami apa yang saya maksudkan dalam perbincangan ini, dalam batasan yang kita sepakati.
Mengamati adalah sejauh menggunakan alat pendengaran melalui telinga, persentuhan menggunakan tubuh kita (non spiritual - bagi yang tidak percaya adanya spiritualisme), penglihatan menggunakan mata fisik (bagi yang tidak percaya adanya mata batin).
Sedangkan memahami adalah sejauh memikirkan sesuatu, sehingga membentuk pemahaman (tanpa mengamati). Tetapi bahkan mengamati pun harus berakhir kepada memahami hasil pengamatan.
Kemudian mengalami adalah sejauh merasakan, yaitu ketika terbangkitkannya suatu perasaan tertentu setelah dilakukan pengamatan atau pemahaman, yang menjadikannya merasakan sesuatu, lalu perasaan ini menjadi ukuran perbandingan suatu kebenaran.
Kita harus menyadari bahwa mengamati, memahami atau mengalami, juga bukan jaminan validasi terbaik terhadap suatu dugaan kebenaran. Akan sangat menggelikan ketika seseorang sedemikian mengutamakan pengamatan untuk memastikan suatu kebenaran, padahal ia menyadari bahwa dirinya hidup dan bergantung tidak hanya menggunakan pengamatan. Demikian pula akan sangat tidak benarnya, jika kita mengutamakan pemahaman disaat ia di dalam kehidupannya sering menggunakan perasaan di dalam memutuskan sampai seberapa jauh ia menilai suatu kebaikan, etika, untuk memastikan apakah harus menyetujui suatu hubungan kemanusiaan, perdagangan atau lainnya.
Tetapi memang tidak dapat disangkal bahwa penglihatan adalah suatu kenikmatan terbesar (walaupun ini subyektif, kecuali bagi penikmat musik yang mengutamakan pendengaran ?). Mungkin ini yang menjadikan pada umumnya (pada saat ini yang dapat berbeda pada masa yang berbeda) seseorang mengutamakan penglihatan untuk menguji kebenaran.
Walaupun penglihatan kita juga sering sedemikian mudah ditipu oleh para ahli sihir, hipnotis, ilusi dan ahli sulap (yang dapat mengakibatkan pengambilan kesimpulan yang salah - perumusan yang tidak konsisten).
Bagi saya, bukan pengamatan, atau pemahaman atau juga pengalaman yang menjadikan suatu dugaan kebenaran dapat dihakimi sebagai benar atau tidak, tetapi bahwa ketiga hal tersebut (kalau ada lainnya silakan ditambahkan), seharusnya merupakan tahapan di dalam menemukan kebenaran.
Yaitu, di saat seseorang mengakui atau tidak mengakui suatu kebenaran, Seseorang yang mengakui suatu kebenaran, sudah seharusnya ia memperluas keyakinannya tidak hanya berdasarkan kepada salah satu atau dua dari ketiga hal tersebut (pengamatan, pemahaman dan pengalaman), tetapi memperluas keyakinan berdasarkan ketiga hal tersebut (pengamatan, pemahaman dan pengalaman). Dalam arti, jangan sampai terlalu mengutamakan salah satunya, melainkan berusaha memaksimalkan ketiganya sebisa mungkin.
Atau, di saat seseorang tidak mengakui suatu kebenaran, sudah seharusnya ia memastikan apakah ia sudah menguji dugaan kebenaran tersebut berdasarkan pengamatan, pemahaman dan juga pengalaman ?